News PBSI IKIPMu Maumere

Rabu, 26 Februari 2020

CERPEN: KEMANA CINCIN INI KU BERIKAN

KEMANA CINCIN INI KU BERIKAN

(Oleh Trisnawati Bura: Alumni Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Muhammadiyah Maumere. Saat ini sedang melanjutkan studi jenjang S2 di Universitas Muhammadiyah Malang)

Matahari seolah tersenyum saat menyinari sebagian bumi. Tak hanya matahari yang tersenyum, namun sepasang kekasih ini juga tersenyum bahkan sesekali tertawa, bercanda gurau dengan asiknya. Sepasang kekasih ini, Rino dan Nadyah, asik bercanda gurau di sabtu sore pukul 16.00 WITA saat perkuliahan baru saja berakhir dan satu persatu teman keluar dari kelas, tinggal keduanya yang masih asik di kelas mencari tugas. Nadyah adalah gadis pemarah namun tidak serius dalam memarahi orang. Sebenarnya dia wanita yang lembut, cantik, berkulit putih dengan wajah oval dan berambut pirang. Keduanya menjalin hubungan kekasih sejak SMA dan berencana bertunangan tahun ini.
“Ino, jaringannya lelet nih. Pulang aja yuk”! ”Ah, pulang saja sendiri”, ketus Rino. Lalu, dibalas Dyah dengan ketus pula, “ya sudah. Aku duluan saja”. HAHAHA, ngambek ini ee..., sambil tertawa dengan tingkah lucu sang kekasih yang sedari tadi tidak bisa diajak bercanda sedikitpun kemungkinan lelah atau datang bulan, sambil mencubit kedua pipi kekasih tercintanya ini dengan gemas.
“Aduh, sakit tau!” jawab Dyah kembali ketus kepada pacarnya. “Lagian kamu’kan orangnya sibuk”, sambil mematikan laptop.
“Aku hanya bercanda, sayangku. Kamu tidak lihat, laptopku sudah dari tadi dimatikan.  Sebenarnya aku sudah mau ajak kamu balik, hanya saja takut jawabanmu sama seperti jawabanku, makanya aku diam dan menunggu saja. Lagian pria mana yang tidak ingin berlama-lama di samping pujaan hatinya”.
“Hmmmm, alasan saja kamu,” ucapku sedikit agak grogi saat mendengar rayuannya yang seketika itu membuat pipiku mendadak memerah mirip seperti buah tomat, “tapi untung, wajah tomatku tak sempat dilihatnya, bisa-bisa tambah malu aku ketahuan salah tingkat depannya”.
“Hahaha, simpanlah laptopmu! Aku ingin mengajakmu jalan, sambil keduanya memasukan laptop ke dalam tas” tanpa basa-basi Dyah langsung menjawab dengan penuh semangat, “baiklah, pacarku sayang” sambil tersenyum dihadapan kekasihnya itu.
Keduanya keluar kelas menuju tempat parkir, memakai motor matic milik Rino, keduanya menuju Tangga Seribu salah satu tempat favorit Nadyah. Sesampainya di Tangga Seribu, Rino memarkirkan motornya, keduanya duduk di motor sambil saling berpegangan tangan.
“Kamu lihat burung itu, sayang?” menunjuk ke arah seekor burung yang bertengger di ranting pohon. “Aku melihatnya, sayang” jawab Dyah. “Betapa sedihnya aku jika harus sendiri tak bersamamu, seperti burung itu”, sahut Rino pada Nadyah. “Ah, sayang, aku takkan mungkin meninggalkanmu seperti burung itu, sambil mengenggam erat tangan Rino.
“Burung itu tidak meninggalkan pasangannya, pasangannya’lah yang meninggalkan dia”, sahutnya. Spontan, Nadyah langsung secepat kilat menjawab perkataan Rino tanpa berpikir panjang, “jangan sok tau kamu, sayang” sambil mencubit tangan Rino. “Sayang, dengarkan aku dulu, “tidak mungkin aku menyalahkan burung itu. Itu burung jantan, jadi sesama laki-laki aku harus membelanya’kan. Siapa yang akan membelanya jika saat ini dia sendiri di sana, haha”.
“Hahaha, berlebihan sekali kamu sayang”, ucap Nadyah yang seketika itu suasana berubah menjadi hening untuk beberapa saat. Setelah itu, Rino memanggil nama kekasih hatinya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, “Dyah” yang langsung dibalas Nadyah dengan penuh kelembutan juga, “Iya, Ino’ku sayang”.
“Aku mencintaimu, Dyah”, memenggam tangan dan menciumnya.
“Aku juga mencintaimu, Ino”, ucap Dyah dengan penuh kehangatan.
“Dyah, aku takkan menyakitimu. Aku berjanji, aku akan selalu ada untukmu. Aku yang akan membangunkanmu setiap pagi. Aku yang akan kamu lihat pertama kali untuk mengawali pagimu”.
“Janji ya, Ino”, sahut Dyah. “Iya, Dyah. Aku berjanji” ucap Rino.
“Aku mencintaimu. Terimakasih untuk selama ini, selalu bersabar untukku”, pinta Nadyah.
Rino dan Nadyah menikmati pemandangan laut di atas bukit sambil Nadyah bersandar pada bahu kekasih hatinya itu untuk memandangi keindahan ciptaan Tuhan. Rino tetap bersabar dan terus membelai rambut Nadyah, walaupun bahunya mulai terasa pegal, namun dia tak ingin menghilangkan kenyamanan yang didapati wanita kesayangannya yang sedang melamun itu, karena Rino tahu betul Nadyah adalah penikmat senja. Rino menjadi terkejut melihat Nadyah meneteskan air mata saat melihat senja yang perlahan-lahan berubah warna orange atau jingga menuju langit malam yang gelap.
“Sayang, kamu kenapa?” tanya Rino sambil menyingkirkan kepala Nadyah dari bahunya untuk menyeka air mata yang membasahi pipi Dyah.
“Berjanjilah, sayang! Berjanjilah kamu takkan biarkan aku seperti burung tadi. Aku tak ingin sendiri tanpamu”, jawab Nadyah.
“Aku takkan meninggalkanmu, Dyah”, ucap Rino sambil mencium kening dan memeluknya.
“Terimakasih sayang”, jawab Dyah. Untuk beberapa saat keduanya terdiam tanpa kata, sambil Rino memberikan waktu untuk kekasihnya itu menenangkan diri sebelum mengajaknya pulang.
“Ayo sayang! Kita pulang sebelum hari semakin larut malam, dingin dan akan turun hujan”, ucap Rino sambil menarik tangan Nadyah yang sedari dari tadi masih saja duduk.
“Jangan lupakan hari ulang tahunku yang tinggal beberapa hari lagi”, ucap Nadyah.
“Aku tidak mungkin melupakan hari ulang tahun kesayanganku” jawab Rino.
Keduanya lalu kembali. Rino mengantar Nadyah ke rumah. Setelah mengantar Nadyah, Rino pun kembali ke rumahnya dengan mengendarai motor butut kesayangannya. Hari terus berlalu dan kedua pasangan masih seperti biasanya, selalu bersama menghadirkan senyuman-senyuman bahagia. Namun hari ini sangat berbeda, sebab Rino tidak mengikuti perkuliahan. Nomor handphone Rino pun tidak bisa dihubungi. Sejak itu Rino tidak pernah datang kuliah dan teman-teman tidak mengetahui kabar Rino. Setelah selesai perkuliahan, Nadyah kembali sendiri ke rumah.
Udara malam minggu terasa sangat dingin, sebab hujan malam minggu yang sangat deras baru saja berhenti membasahi jalan yang dilaluinya. Saat udara yang dingin, di sebuah cafe tampaklah sepasang remaja sedang duduk di meja tepat di samping jendela. Jendela cafe itu bening, sehingga akan jelas terlihat dari luar ke dalam cafe. Rino dan Tika sangat gembira dalam cuaca dingin itu, keduanya tertawa bahagia disela candaan. Kegembiraan keduanya terlihat oleh Nadyah dari balik jendela. Gadis berambut pirang itu terpaku menatap kekasihnya yang duduk bersama wanita yang tidak dikenali. Nadyah menjatuhkan air mata saat melihat kekasihnya memberikan cincin kepada gadis itu. Nadyah berlari menjauhi cafe yang penuh kesedihan itu. Nadyah duduk di bangku taman sambil menangis. Tiba-tiba seorang pria datang menghampirinya, Nadyah lalu menengok dan melihat seorang pria yang tak dikenali berdiri dihadapannya.
“Ini ambillah! Kamu pasti memerlukan ini”, ucap Dewa sambil memberikan sapu tangan
“Terima kasih”, sahut Nadyah sambil menerima sapu tangan dari Dewa untuk menyekah air mata.
“Siapa namamu”? tanya Dewa, “Aku, Nadyah, jawabnya.
“Aku, Dewa. Mengapa kamu menangis?” tanya Dewa lagi.
“ Aku tidak apa-apa. Aku hanya bersedih, orang yang aku sayangi akan pergi jauh. Sahabatku akan pergi melanjutkan sekolahnya di Jakarta”, jawab Nadyah.
“Oh, seharusnya kamu bahagia, sebab temanmu tidak sakit atau dalam keadaan sakit. Kamu jangan sedih. Temanmu hanya pergi bersekolah. Kalian pasti akan bertemu lagi”, jawab Dewa menyakinkan Nadyah.
“Memang saat ini dia tidak sakit. Dia sangat bahagia. Sungguh tega dirinya menyakiti aku, dia bersama wanita lain”, terlintas dibenakku mengingat kembali kejadian di cafe tadi sambil meremas-remas sapu tangan pemberian Dewa.
“Siapa yang kamu bicarakan? Sahabatmu? tanya Dewa lagi.
“Jangan lagi membahas tentang itu”, ucap Nadyah dengan nada kesal.
“Pacarmu?” tanya Dewa dengan nada halus dan penuh kehati-hatian, “Eh, maafkan aku”, Nadyah ucap Dewa.
Nadyah hanya diam dan kembali meneteskan air mata. Pandangannya kosong ke arah sapu tangan yang digengamannya. Dewa merasa kasihan dengan keadaan Nadyah.
“Sudahlah, rumah kamu dimana? Biarkan aku mengantarmu pulang” tanya Dewa lagi.
“Aku bisa kembali sendiri. Ini sapu tanganmu”, ucap Nadyah dengan ketus sambil menyodorkan sapu tangan milik Dewa. Sambil mengambil sapu tangan dan menyimpannya, Dewa tetap memaksa Nadyah untuk diantarnya pulang, “tidak apa-apa, aku akan mengantarmu pulang, ucap Dewa sekali lagi.
“Aku bisa kembali ke rumah sendiri”, jawab Nadyah dengan tegas, bangun dari tempat duduk dan pergi meninggalkan Dewa. Dewa kemudian menarik tangan Nadyah dan terus saja memaksa sambil berkata “bagaimana mungkin aku membiarkan seorang wanita yang sedang bersedih kembali sendirian ke rumah? Aku mungkin lebih kejam dari dia yang menyakitimu, jika aku membiarkan kamu sendirian pulang”.
Nadyah terdiam mendengar ucapan Dewa yang begitu tulus untuk membantu.
“Izinkan aku menemanimu pulang. Aku antar kamu pulang dengan motorku ya, ucap Dewa.
“Jangan ngebut”! jawab Nadyah pada Dewa.
“Tidak, aku tidak mungkin mencelakaimu, ayo! balas Dewa sambil tersenyum.
Dewa menggandeng tangan Nadyah dan pergi menuju motor. Keduanya meluncur dengan motor besar milik Dewa ke rumah Nadyah. Sesekali Dewa melirik Nadyah dari balik kaca spion motornya. Wajah Nadyah sangat nyaman dilihat apalagi saat Nadyah berusaha menghindari tiupan angin yang berusaha merusak bulu mata palsunya itu, Dewa pun langsung jatuh cinta.
“Dyah, kamu sudah makan?” tanya Dewa yang mulai perhatian pada Nadyah setelah kejadian itu.
“Aku tidak lapar kow”, ucap Nadyah.
“Kita makan dulu ya, Dyah. Aku lapar nih. Ada satu tempat makan yang sering aku singgahi. Makanannya enak banget, Dyah”, jawab Dewa sambil merayu.
“Aku lagi tidak ada selera makan nih. Kita langsung pulang saja ya. Lagian kompleks perumahanku sudah dekat di depan sana”, ucap Nadyah.
“Baiklah”, sahut Dewa menuruti permintaan Nadyah.
“Di perempatan lampu merah depan sana belok kanan ya, ucap Nadyah.
“Siap, Dyah. Besok aku jemput ya? Kita jalan-jalan. Aku tahu tempat yang dapat menyembuhkankan lukamu” ucap Dewa yang kembali membuka luka hati Nadyah.
“Belok kanan, Dewa. Jangan lurus saja”, ucap Nadyah dengan kesal.
“Maafkan, Dyah. Aku pikir kamu istriku, jadi kita lurus saja ke arah rumahku. HAHAHAH”, jawab Dewa dengan harapan agar Nadyah kembali tersenyum.
“Ngawur kamu,” sahut Nadyah sambil mencubiti pinggang Dewa.
“Aduh. Sakit tahu, Dyah”, jawab Dewa sambil ketawa dan menahan rasa sakit.
“Beeeerrrrrrrrrrrrrrhenti, Dewa. Di sini rumahku”, sahut Nadyah dengan kesal.
“Itukan rumahmu”, jawab Dewa sambil menunjuk ke rumah di sebelah kiri jalan.
“Jangan sok tau. Rumahku yang di sebelah kanan jalan, jawab Nadyah menjelaskan pada Dewa.
“Ternyata, kamu tinggal di perumahan seelit ini juga”, tanya Dewa yang semakin kepo saja.
“Ini rumah orang tuaku, bukan rumahku. Ya sudah, kamu langsung pulang saja. Oh iya, hati-hati ya. Terimakasih udah ngantarin aku pulang, ucap Nadyah.
“Nadyah, tunggu dulu. Bolehkan aku minta nomor handphone kamu? Biar besok, sebelum aku jemput, aku sudah ngabarin kamu duluan”, ucap Dewa.
“Ini nomor handphoneku”, jawab Nadyah sambil menyebutkan nomornya dan membuka pintu pagar rumah yang terkunci.
Selesai Nadyah memberikan nomor handphone, Dewa secepat kilat langsung menyimpan dalam daftar kontak handphone. Setelah selesai menyimpan nomornya Dewa terkejut saat Nadyah sudah berada di dalam pagar rumahnya. Ternyata Nadyah langsung meninggalkan Dewa setelah memberikan nomornya, sehingga Dewa tidak sempat memperhatikan Nadyah yang pergi saat dia sibuk menyimpan nomor Nadyah.
***
Keesokan harinya sekitar jam 07.00 pagi, Nadyah terbangun dari tidurnya saat handphone berdering, segera menekan tombol terima tanpa mengecek dahulu siapa yang menelpon, Nadyah menyangka yang menelponn adalah Rino, kekasihnya itu. Sebab Rino’lah yang menelpon dan membangunkan Nadyah setiap pagi.
“Halo, selamat pagi Ino”, ucap Nadyah dengan penuh kebahagiaan.
“Ino??? Hey, ini Dewa, Nadyah. Kamu mimpi ya?? tanya Dewa.
“ Oh, maaf”, jawabku sambil terkejut “ternyata aku salah orang” dalam hati.
Nadyah kembali bersedih, mengenang kebiasaan dibangunkan Rino dan hari ini sangatlah berbeda. Nadyah bangun setengah bersandar pada tempat tidur sambil menatap foto Rino yang diletakkan tepat di samping tempat tidur, air mata terjatuh saat sadar bahwa kemarin baru saja melihat Rino selingkuh darinya.
“Nadyah, kamu masih bisa mendengarkan aku kan?”tanya Dewa melalui sambungan telepon.
“Iya, iya Dewa”, jawab Nadyah.
“Bagaimana dengan hari ini? Apakah kita jadi jalan?”tanya Dewa lagi.
“Iya, Dewa. Kita jalan, jawab Nadyah.
“Ya sudah. Satu jam lagi aku tunggu depan rumahmu, sahut Dewa.
“Oke, baiklah. Aku bersiap dulu, bye Dewaaa”, ucap Nadyah langsung mematikan sambungan telepon.
Nadyah bangkit, mengambil foto Rino di atas meja dan menaruhnya ke laci. Setelah itu Nadyah pun langsung menuju ke kamar mandi. Selesai mandi, Nadyah mengenakan pakaian pemberian Rino. Pakaian itu diberikan Rino saat ulang tahun Nadyah tahun kemarin. Nadyah kembali mengecek handphone untuk sekedar memastikan apa mungkin saja Rino sempat menghubungi melalui telpon atau mengirim pesan padanya, namun tak ada satu pun pesan atau panggilan dari Rino. Nadyah pun kesal dan mengganti lagi pakaian pemberian Rino dengan pakaian lain miliknya. Tak lama handphone berdering, pesan dari Dewa yang sudah berada di depan rumah. Nadyah segera turun menemui Dewa.
“Hai, Dyah. Cantik sekali kamu pagi ini,” ungkap Dewa terpesona saat melihat Nadyah.
“Makasih. Ayo kita jalan”, jawab Nadyah sambil menaiki motor besar milik Dewa.
Keduanya langsung menuju tempat yang dijanjikan Dewa semalam. Dewa ternyata benar-benar telah jatuh cinta pada Nadyah. Dewa berencana akan mengutarakan isi hatinya hari itu juga di tempat yang mereka tuju.
“Kita mampir di sana dulu ya, Dyah. Aku ingin membeli sesuatu”, jawab Dewa sambil menunjuk ke  arah toko perhiasaan.
“Terserah kamu saja. Kan yang bawa motor kamu bukan aku”, jawab Nadyah yang agak sedikit risih.
“Kamu itu susah diajak kompromi, jadi minta izin dulu, bolehkan”! tanya Dewa diiringi ketawa yang bermaksud mencairkan suasana yang agak canggung diantara keduanya.
“Sudahlah, singgah saja dulu ke sana”, ucap Nadyah dengan nada pasrah.
Mereka pun berhenti di toko perhiasaan itu.
“Ayo, Dyah. Temani aku. Aku pengen kamu yang memilih untukku, sahut Dewa.
“Baiklah, Dewa,” ucap Nadyah dengan sikapnya yang agak sedikit manis.
Nadyah dan Dewa masuk ke dalam toko perhiasaan itu, namun alangkah terkejut Nadyah saat melihat Rino dengan wanita yang semalam dilihatnya di cafe, saat ini kembali bersama dengan Rino sedang mencoba sebuah kalung yang cocok untuk digunakan wanita itu. Nadyah segera berlari keluar dan Dewa segera mengikuti dari belakang.
“Sebenarnya kamu kenapa sih, Dyah? Tiba-tiba berlari begitu saja,” tanya Dewa dengan penuh kebingungan.
“Kita pergi dari tempat ini, sekarang juga, Dewa”, sahut Nadyah sambil menarik tangan Dewa dengan kasar dan membiarkan air mata mengalir di pipi tanpa perlu menyekahnya.
“Tapi, Dyah. Kita belum membeli apa-apa dari toko perhiasaan itu”, baru juga masuk sudah keluar saja, ada apa sebenarnya?” tanya Dewa lagi mencari tahu kenapa Nadyah pergi begitu saja dan menangis.
“Aku bilang pergi dari tempat ini sekarang juga, ku mohon, Dewa! Pleaasssee! Lagian masih banyak toko perhiasaan lain, yang jauh lebih bagus dari toko ini dan kenapa juga harus di tempat ini coba?” ucap Nadyah yang semakin kasar saja ketika marah.
Dewa segera menghidupkan motor dan pergi meninggalkan toko perhiasaan itu. Dewa membawa Nadyah ke suatu bukit yang sangat indah dengan pemandangannya. Tidak hanya indah, namun bukit tersebut memberikan kenyamanan yang dapat menenangkan jiwa. Keduanya berdiri menikmati pemandangan itu dan Nadyah masih saja menangis.
“Sudahlah, Dyah. Berhentilah menangis! Aku tak sanggup melihatmu bersedih”, ucap Dewa sambil menyeka air mata Nadyah dengan tangannya.
“Dia sudah mengecewakanku, jawab Nadyah sambil menangis.
“Siapa yang telah melukai hati wanita secantik kamu, Dyah?” tanya Dewa.
“Rino. Pria yang bersama seorang wanita di toko perhiasaan itu. Dia adalah kekasihku. Aku sangat mencintai dia. Aku salah, ternyata dia tidak setulus perkiraanku. Dia pria munafik. Aku membencinya, aku membencinya, Dewa”, ucap Nadyah sambil menangis dan tanpa sadar memukul Dewa.
“Sudahlah, Dyah. Tenangkan dirimu!” sahut Dewa sambil menenangkan Nadyah dalam pelukan.
“Aku membencinya, Dewa. Aku membencinya!” teriak Nadyah sekencang-kencangnya.
“Duduklah dulu, Dyah dan tenangkan pikiranmu”, ucap Dewa yang mulai khawatir dengan kondisi emosional Nadyah yang tidak terkontrol.
Nadyah terus  saja menangis dalam rangkulan Dewa. Beberapa saat tangisan Nadyah mulai berhenti dan segera menarik kepalanya dari rangkulan Dewa.
“Apakah kamu masih ingin menangisi pria seperti dia?” tanya Dewa yang mulai kesal dengan sikap Nadyah.
“Tidak”, jawab Nadyah dengan menyekah air mata.
“Dyah, lupakan pria itu. Lupakan dia yang hanya bisa membuatmu menangis”, ucap Dewa yang antara kesal dan berharap Dyah bisa melupakan Rino agar kesempatannya untuk menjadi kekasih Dyah terbuka lebar tanpa halangan.
“Aku tidak bisa melupakannya tapi aku bisa membuatnya jauh dari kehidupanku, ucap Nadyah sambil mengambil handphone dari dalam tas.
“Maksud kamu? tanya Dewa pada Nadyah.
“Kami tidak akan bisa bersatu lagi. Aku relakan dia bersama wanita itu. Aku salah. Aku salah mencintainya”, ucap Dyah sambil mematahkan Simcard lalu membuangnya.
“Apa yang kamu lakukan? Ada nomorku dikartu itu. Bagaimana aku bisa menghubungimu?” tanya Dewa yang semakin bingung dengan sikap Nadyah.
“Nomormu itu, bisa kusimpan dikartu baruku”, jawab Nadyah dengan sedikit kesal.
“Baiklah”, jawab Dewa  dengan ekspresi datar.
“Ayo kita pulang, ucap Nadyah yang langsung ditanya Dewa “mau ke mana kita?”.
“Ke mana saja, asalkan kita jalan”, bentak Nadyah yang semakin kesal. Akhirnya, dengan tergesa-gesa Dewa naik ke motor tanpa sepatah katapun terucap, “takut tuan putri ngamuk lagi”, pikirnya dalam hati.
Keduanya meninggalkan bukit tersebut. Dalam perjalanan, keduanya membisu. Beberapa menit setelahnya, Dewa pun memberanikan diri untuk mulai pembicaraan dengan Nadyah.
“Nadyah, mau ke mana lagi kita?” tanya Dewa dengan penuh kehati-hatian.
“Kita pergi ke toko kue saja, Dewa. Aku ingin memesan kue ulang tahunku besok”, jawab Nadyah.
“Kamu ulang tahun besok ya, Dyah? Aku diundang tidak? tanya Dewa dengan penuh semangat dan berharap diundang Nadyah.
Datang saja, Dewa. Besok jam 04.00 sore acaranya dimulai. Jangan sampai telat”, jawab Nadyah.
“Dyah, lupakan pria itu. Aku yang akan menemanimu selalu, untuk apa juga masih mempertahankan pria seperti itu. Masih banyak yang jauh lebih baik seperti aku misalnya”, ucap Dewa terbawa suasana.
“Aku masih sangat mencintainya. Tolong pahami aku, Dewa. Ku mohon, mengertilah, jawab Nadyah.
“Oke baiklah, Dyah. Aku minta maaf. Aku sempat terbawa suasana, jawab Dewa dengan penuh rasa sakit dan berharap bisa menjadi penyembuh luka untuk kekasih hati yang dicintainya.
Sampailah keduanya di toko kue. Mereka memesan kue untuk ulang tahun Nadyah. Selesai memesan, Dewa mengantar Nadyah pulang ke rumah. Keesokan hari Dewa datang untuk turut merayakan hari ulang tahun Nadyah. Pesta itu dihadiri banyak sekali teman-teman Nadyah. Namun, Nadyah tampak tidak bahagia, sebab Rino kekasih hatinya tidak kunjung hadir dalam acara ulang tahun tersebut. Nadyah malah semakin merindukan Rino.
***
Setahun berlalu namun Rino masih menghilang tanpa kabar. Nadyah pun akhirnya terpaksa berpacaran dengan Dewa, walaupun Nadyah tidak sepenuhnya menyayangi Dewa karena di dalam hati Nadyah hanya Rino seorang, pria yang dicintainya.
Hari yang sangat ditunggu-tunggu Rino pun tiba. Rino ingin sekali menemui Nadyah, gadis yang sangat dicintainya. Pria berkulit sawo matang dengan rambut ombak dan berjenggot di dagunya itu pun berangkat ke rumah Nadyah ditemani Tika. Hari itu adalah hari ulang tahun Nadyah, setelah setahun lalu Rino tak sempat merayakan bersama-sama dengan pujaan hatinya. Tika sendiri kebingungan melihat rumah itu ditata dengan pernak-pernik pernikahan.
“Tunggu dulu, Rino. Ini pesta pernikahan bukan pesta ulang tahun, Nadyah. Lihat saja, pernak-pernik itu!” ucap Tika sambil menunjuk ke arah anyaman bunga dari daun kelapa.
“ Tapi hari ini ulang tahun Nadyah, Tika. Mungkin saja ini pernikahan kakaknya yang sengaja dibuat bertepatan dengan hari ulang tahunnya. Nadyah adalah gadis kesayangan rumah ini. Ayo masuk!” jawab Rino sambil menarik tangan Tika. “ Aku ingin memeluknya dan mengatakan bahwa aku sangat mencintainya”, ucap Rino sekali lagi.
Keduanya pun masuk ke rumah itu dengan membawa sebungkus kado dan seikat bunga mawar putih kesukaan Nadyah. Sesampai di depan pintu rumah, Rino terkejut melihat Nadyah, tampak sangat cantik. Rambut pirang disanggul dengan kebaya biru yang membalut tubuh indahnya. Gadis itu tampak seperti putri kerajaan. Rino tersenyum melihat kecantikan wanita kesayangannya yang sekarang berada tepat dihadapannya. Sayang, kebahagiaan itu sirna, Rino tiba-tiba menjatuhkan air mata tak percaya Nadyah berdiri dipelaminan bersama pria yang bukan dirinya. Bunga yang tadinya dipegang erat terlepas dari genggaman dan terjatuh. Tika baru menyadari bahwa Nadyah adalah mempelai wanitanya.
“Kita pulang, Tika. Nadyah sudah sangat bahagia tanpaku, ucap Rino sambil berbalik menuju pintu keluar.
“Tapi, Rino”, jawab Tika dengan nada sedih.
“Aku tidak ingin merusak kebahagiaanya, jawab Rino sambil terus berjalan menuruni setiap anak tangga.
Tika pun ikut menjatuhkan air mata melihat pria yang sangat dicintainya itu berjalan sambil melamun menuju pintu gerbang.
“ Rinoooooooooooo”, teriak Tika. Riiiinnnnoooo, teriak Tika sekali lagi, sambil berlari mengejar Rino.
Mendengar teriakan yang memanggil nama Rino, seketika itu Nadyah terkejut dan melihat ke arah pintu sambil berkata,”bukannya dia yang selalu bersama dengan Rino, sedang apa dia berlari sambil berteriak memanggil nama Rino”. Nadyah pun turun dari pelaminan dan berlari keluar mengejar wanita itu. Nadyah terkejut melihat wanita itu memeluk Rino yang telah berlumuran darah. Rino menjadi korban tabrak lari di depan rumah Nadyah.
“Rinooooo, Rinooooo”, teriak Tika sambil menangis.
“Rinoooooo, teriak Nadyah sambil berlari.
“Rinooo ku mohon buka matamu. Kamu tak boleh meninggalkanku. Dengan siapa lagi aku hidup di dunia ini?” teriak Nadyah sekencang-kencang sambil memeluk Rino dalam tangis.
Keluarga Nadyah, para tamu undangan dan warga sekitar berhamburan di jalan untuk datang melihat apa yang terjadi.
“Dyah, apa yang terjadi?” tanya Ayah.
“Rino, Ayah”, jawab Nadyah sambil menangis dipelukan Ayah.
“Segera kita bawa Rino ke rumah sakit. Ayo bapak-bapak, tolong bantu saya mengangkat anak ini ke dalam mobil” ucap Ayah Nadyah.
Para tamu undangan dan warga sekitar membantu ayah Nadyah mengangkat dan memindahkan Rino ke dalam mobil. Ayah Nadyah, Ibu Nadyah, Nadyah, dan Tika mengantarkan Rino ke rumah sakit. Sesampainya di RSU, Rino segera dibawa ke UGD dengan cepat oleh tim medis. Kedua orang tua Nadyah, Nadyah dan Tika menunggu di luar ruangan UGD.
“Kamu siapa?” tanya Nadyah sambil menangis.
“Aku Tika, adik kandung Rino, jawab Tika sambil menangis juga.
“Jadi selama ini, wanita yang pergi bersama Rino adalah kamu, adik kandung Rino”, tanya Nadyah.
“Iya, itu aku. Memangnya kenapa? Rino tidak pernah cerita?” Tika balik bertanya ke Nadyah.
“Oh, Tuhan. Maafkan aku, Rino. Maafkan aku, ucap Nadyah sambil memukul  tangannya ke tembok. “Tapi mengapa begitu lama Rino meninggalkanku? Salahku apa, Tika? Salahku apa?” tanya Nadyah lagi.
“Rino tidak pernah meninggalkanmu, setahun yang lalu Rino mengalami kecelakaan di depan toko perhiasaan, setelah sadar dari komanya selama beberapa bulan, Rino tetap memaksakan diri untuk menemuimu tapi aku melarangnya. Aku hanya ingin Rino benar-benar pulih dari sakit, tidak ada maksud lain. Waktu itu, aku dan dia pergi membeli kalung untuk hadiah ulang tahunmu. Dia berlari keluar saat melihatmu diboncengi seseorang. Dia mencoba mengikuti kalian, namun sayang baru saja sampai di luar toko perhiasaan itu, Rino tertabrak motor yang melaju dengan sangat kencang. Dia dilarikan ke rumah sakit. Dia sembuh dan keluar dari rumah sakit sekitar sebulan yang lalu. Dia mengajakku ke rumahmu dengan kondisi fisiknya yang masih belum stabil. Aku memintanya untuk menghubungimu terlebih dahulu, berulang kali dia mencoba untuk terus menghubungi tapi tetap saja nomormu tidak bisa dihubungi. Akhirnya, aku pun terpaksa membiarkannya pergi, tepat di hari ulang tahunmu saat ini”, jelas Tika pada  Nadyah.
“Maafkan aku, Tika. Aku sempat menyangka kamu adalah selingkuhannya, aku melihat Rino memberikan cincin padamu di cafe tempat biasa Rino singgahi untuk minum kopi bersama teman-temannya. Saat itu malam minggu, membuatku semakin berpikiran bahwa kalian adalah sepasang kekasih”, ucap Nadyah sambil memeluk Tika.
“Cincin itu sebenarnya untukmu. Dia sengaja mengundangku untuk melihat cincin itu sebelum diberikan kepadamu. Aku pernah bilang padanya, jika wanita yang kamu cintai itu sama seperti kamu mencintai Ibu maka berikanlah yang terbaik. Cincin dan kalung adalah hadiah yang tepat untuknya. Keesokan harinya kami pergi ke toko perhiasaan itu untuk membelikan kalung untukmu”, jelas Tika sekali lagi.
“Kuatlah sayang, aku mencintaimu. Maafkan aku!” ucap Nadyah sambil menangis.
“Aku melihatnya tersenyum bahkan menangis saat melihatmu bahagia bersama orang lain dipelaminan tadi,” ucap Tika menjelaskan yang terjadi pada Nadyah.
“Bukan aku yang menikah. Kakakku yang menikah. Aku berdiri dipelaminan hanya untuk berfoto bersama. Maafkan aku, Rino. Aku tidak berusaha untuk mencarimu selama ini, jawab Nadyah atas pertanyaan  Tika.
Dokter yang menangani Rino pun keluar dari ruangan UGD. Mereka segera menghampiri dokter.
“Bagaimana keadaannya, dok?” tanya Ayah Nadyah.
“Dok, bagaimana keadaan anak kami sekarang?” tanya Ibu Nadyah lagi.
“Maafkan kami. Kami sudah berusaha tapi nyawa anak bapak dan ibu, tidak bisa tertolong”, jawab dokter sambil menggelengkan kepala.
“Oh, Tuhan”, sahut Ayah Nadyah.
“Ayah, Nadyah, Tika. Kita harus ikhlaskan kepergian Rino, ucap Ibu Nadyah sambil menguatkan semuanya.
“Kakaak...... Kaakaaak .............”, teriak Tika di depan ruangan UGD dan menangis.
“Rinooooooo, aku baru saja memandangmu beberapa detik yang lalu dalam luka tapi kenapa sakitnya terus saja bertambah. Katakanlah jika aku salah, aku mohon.  Jangan hukum aku dalam penyesalan yang tiada akhir. Ku mohon bangunlah, bangunlah sayang. Hari ini ulang tahunku. Kamu belum sempat mengucapkannya” Selamat Ulang Tahun Dyah’ku Sayang”, I LOVE YOU, Dyah’ku”,ucap Nadyah dalam lamunan sambil terus memandang ke arah ruangan UGD dan menangis.
“Permisi, Bapak-Ibu”, ucap Dokter.
Nadyah dan Tika sama-sama berlari ke dalam ruangan UGD. Keduanya menangis sambil memeluk jenasah Rino. Tak lama, orang tua Nadyah pun ikut masuk dan menemui keduanya.
Dyah, tenangkan dirimu”, ucap Ibu sambil memeluk anak gadis satu-satunya itu yang begitu terpukul atas meninggal kekasih hatinya.
“Rino, Ibu. Rino pergi. Rino meninggalkan Dyah, di hari ulang tahun Dyah”, ucap Nadyah yang terus menangis di depan jasad Rino.
“Kakak Dyah, ini untukmu”, sahut Tika sambil menyodorkan surat undangan, cincin, kalung dan sapu tangan sambil menangis.
Nadyah menerima kado pemberian Tika. Nadyah kemudian duduk di kursi, di samping tempat tidur. Nadyah kembali menangis setelah membaca isi undangan tersebut. Ternyata undangan tersebut adalah contoh desain undangan pertunangan yang bertuliskan nama Rino dan Nadyah.
Nadyah lalu membuka sapu tangan itu, tergambar dua ekor burung dengan tulisan ”Burung itu tak lagi sendiri. Aku akan mencintai kamu selama mentari muncul dari timur, berdiam di atas kepala dan ketika itu menghilang ke ufuk barat”.
Nadyah menangis sekencang-kencangnya dan terus mencium sapu tangan itu, sesekali meletakkan sapu tangan itu didadanya. Nadyah menyesali kesalahannya yang telah meragukan cinta Rino. Kesalahan karena berusaha membuat Rino tak bisa menghubunginya. Kesalahan yang membuat Nadyah harus kehilangan Rino selamanya. Sekarang, Nadyah hanya bisa berdoa semoga bisa berjumpa lagi dalam kebahagiaan yang sama, selalu dan selamanya, Amin!
***