News PBSI IKIPMu Maumere

Rabu, 26 Februari 2020

CERPEN: SEPOTONG KENANGAN DI WARUNG KOPI


SEPOTONG KENANGAN DI WARUNG KOPI
(Oleh Trisnawati Bura; Alumni IKIP Muhammadiyah Maumere. Saat ini sedang menempuh Studi Jenjang S2 di Universitas Muhammadiyah Malang)

Saat membicarakan tentang masa lalu seharusnya kita sama-sama tahu bahwa masa itu sudah berakhir. Segala yang hadir dalam ingatan bukan lagi apa yang sedang terjadi, tetapi apa yang sudah terjadi dan berlalu. Tapi mengingkarinya juga tidak berpengaruh apa-apa, karena kenangan itu sering hadir tanpa kata. Saat sesuatu sudah berakhir yang tersisa tinggal kenangan. Kadang hadir bersama rintik hujan, saat membaca novel dan tempat tongkrongan.
“Bukannya aku tak suka, tapi terkadang aku tak bisa mencegahnya”, tanyaku dalam hati.
“Lantas aku akan mengingat runutan kisah kita, mulai dari awal berjumpa”, tanyaku sekali lagi.
Saat itu aku dan kamu sama-sama tak saling menyukai bahkan saling membenci, sampai akhirnya aku dan kamu menjadi begitu istimewa. Walau pun terlambat, tapi tak ada yang salah dalam cinta. Kisah awal perjumpaan kita dimulai dari satu kelas yang sama di bangku kuliah, namun tak pernah saling menyapa. Entahlah, apa yang membuat kita berdiam bahkan tak saling menyukai. Kita bahkan saling menunjukkan siapakah yang menjadi idola dalam kelas, baik dalam kegiatan akademik ataupun non akademik.  Marah, kesal, jengkel itu yang kita rasakan sampai-sampai meja dan kursi pun menjadi saksi amarah itu berkobar-kobar. Api ketidaksukaan terus saja meningkat sering bertambahnya semester yang telah dilalui bahkan lebih memanas dan memuncak saat kita disatukan dalam kelompok sekolah magang yang sama. 
Misalnya, hanya sekedar untuk berbagi hasil pengamatan saja, rasanya berat dan tak rela.
“Aku yang bertanya, dia yang menikmatinya”, bisik’ku dalam hati dengan penuh amarah.
Sampai pada akhirnya, amarah itu perlahan-lahan mulai memudar sedikit demi sedikit seiring canda teman-teman magang tentang Tom & Jerry diantara kita berdua.
“Awas, biasanya cinta itu berawal dari kebencian dan ketidaksukaan yang mendalam, hati-hati loh entar bisa kecintaan banget sama dia”, pungkas salah satu teman magang kita.
 Aku tak ambil pusing, malah sibuk melihat data-data yang diperoleh dari hasil pengamatan. Di samping itu, aku bersama-sama dengan teman lainnya juga menulis hasil laporan magang.
“Sepertinya ada yang kurang dan berbeda dari pandangan mata, tapi aku tak terlalu memusingkan hal itu,” bertanya dalam hati.
Aku baru menyadari setelah beberapa hari berlalu, ternyata dia tak lagi berada dihadapanku walau hanya membuatku marah saat melihatnya. Dari situlah, aku mulai merindukan segala hal tentangnya, kebiasaan dia yang  sering terlambat datang pagi sampai malasnya dia saat dimintai tolong untuk berbagi hasil kegiatan pengamatan.
Setelah beberapa lama menghilang tanpa kabar, tiba-tiba dirinya datang, aku sendiri malah yang berakhir dengan salah tingkah dan hampir sempat nabrak pintu, kursi apa meja waktu itu. Bahkan aku juga sampai berpura-pura tidak memperdulikannya hanya untuk memastikan apakah dia masih memperhatikanku atau tidak. Nyatanya, aku mendapat apa-apa dan kembalilah pada diriku yang sesungguhnya, cuek dan masa bodoh. Sampai akhirnya, aku sendiri yang mendapat surprize kalau dia juga menyukaiku di hari terakhir magang sekolah, tetapi melalui sahabat baiknya sekaligus kakak perempuan yang sudah dia anggap dari awal perkuliahan sebagai mahasiswa.
“Ade, kamu harus tahu ternyata selama ini dia memendam rasa denganmu”, ucap kakak perempuannya saat kita bertemu setelah pulang sekolah.
“Tanpa perlu disampaikan juga, aku sudah tahu dari dulu. Gengsi saja mau bilang, ucap’ku dengan segala ketahuan, padahal dalam hati terkejut juga sambil bilang “akhirnya rasaku tak bertepuk sebelah tangan juga”. HAHAHAHA
“Memangnya ade tahu dari mana?” tanya kakaknya lagi.
“Tahu saja dari cara dia menggodaku”, jawabku dengan sok-sokan.
“Baiklah kalau ade sudah tahu, kakak senang dengarnya. Tapi ada satu hal yang pastinya ade belum tahu?’ tanya kakaknya lagi.
“Apa sih yang aku tidak tahu tentang dia? tanya’ku balik.
“Awalnya dia mendekati dan menggoda ade hanya untuk mencari tahu, seistimewa apa sampai-sampai sahabat baiknya bisa sedalam itu mencintai ade. Namun, lama-kelamaan akhirnya dia menemukan jawabannya sendiri, sosok cewek yang mandiri tanpa neko-neko”, ucapnya.
“Tapi yang menjadi permasalahannya sekarang adalah mengikhlaskan yang dicintai untuk sahabat baiknya”, sambungnya lagi.
“Aku bukan barang yang seenaknya diberikan ke siapapun”, jawab’ku sambil menghidupkan motor matic hitam dan berlalu begitu saja.
Ketika harapan direstui, tapi semesta malah belum mendukungnya, bahkan merampas dan membiarkan luka itu tersayat semakin besar. Sakit memang sakit, cinta yang semestinya dirasakan malah dilimpahkan kepada yang sepihak, sebagai pemberian janji bukti bahwa, “berhasil telah membuatku jatuh cinta” tanpa memperdulikan siapa yang dicintainya dan beraninya juga membohongi diri sendiri untuk kebahagiaan yang lainnya.
Sampai pada satu waktu, ketidaknyamanan aku yang akhirnya meluruskan semuanya. Aku benci segala kebohongan yang bersembunyi atas nama persahabatan dan pengorbanan dengan mengajak beberapa teman yang terlibat dalam derita ini untuk sama-sama bermain api dan terbakar setelah pulang kuliah sore.
“Nongkrong yuk,” ajak aku.
“Dimana?” sahut mereka berempat dengan kompak.
“Tempat biasa kalian bertiga ngopi,”jawabku.
“Ayo, sudah seminggu tidak ke sana, ucap Carlos.
“Tapi siapa yang bayar?” sambung Carlos.
“Tenang tidak usah khawatir, aku yang bayar,” jawab Vian.
  Aku dan keempat teman lainnya bersama-sama ke warung kopi yang berlokasi tak jauh dari kampus dengan kendaraan roda dua. Setelah sampai, kami langsung memesan beberapa makanan dan minuman.
“Bu... bu...”, ucapku sambil melihat daftar menu.
“Iya, nak. Aku pesan apa?” tanya ibu pemilik warung kopi.
“Aku pesan satu susu hangat, Bu. Teman-teman lain pesan apa?” tanyaku.
“Kopi hitam,” ucap ketiganya, Carlos, Vian dan Benny dengan kompak.
“Kakak Ani pesan apa?” tanyaku lagi.
“Ikut adik saja,”jawab kakak Ani.
“Maaf ya Bu, kelamaan mesannya. 2 susu hangat, 3 kopi hitam dan 3 pisang keju coklat”,ucapku.
“Iya nak, tidak apa-apa. Di tunggu ya pesanannya. Ibu buatkan dulu. Mari, nak. Ibu permisi ke belakang dulu”,ucap ibu pemilik warung kopi.
“Sambil menunggu pesan, bagaimana kita bermain “truth or dare” (jujur atau berani)? Permainannya sungguh sangat muda, kita cukup menyediakan satu botol kaca untuk diputar mengelilingi teman, jika ujung tutup botol berhenti tepat di depan kita maka orang tersebut wajib memilih untuk dilakukan. Tapi perlu diingat, ToD adalah sebuah permainan ekstrim yang memaksa seseorang untuk bertanggung jawab atas  pilihannya”,ucapku.
Baiklah, siapa takut”,ucap Vian.
Ketiga teman lainnya pada takut kebakar, takut ketahuan kalau ada yang ditutup-tutupi dari Vian, sampai-sampai tidak menjawab saat ditanya.
“Kow yang lain tidak jawab sih”,tanya Vian.
“Iya, main-main,”jawab Carles.
“Mainlah”,jawab Benny dan kakak Ani sambil melihat.
“Satu dua tiga”,ucap Vian sambil memutar botolnya.
Saat botolnya masih berputar mengelilingi kami berlima, ibu pemilik warung kopi tadi datang mengantarkan pesanan.
“Maaf ya, nak. Menunggu agak lama soalnya ibu mengerjakannya sendiri”, ucap ibu.
“Iya bu, tidak apa-apa”,jawab kakak Ani.
“Makasih ya, bu”, sambungku.
“Iya sama-sama nak, selamat menikmati,”jawab ibu.
Ibu balik ke belakang dan kami berlima menyambung kembali permainannya.
“Kita ulang lagi ya,”ucap Vian.
“Silahkan”,jawab Benny.
Vian memutar botol sekali lagi dan ujung tutup botol tersebut mengarah kepadaku.
“Silahkan, siapa yang mau bertanya?” tanya Vian.
“Aku”,jawab Benny sambil mengangkat tangan.

Tapi sebelumnya Dewi pilih dulu “truth or dare”  ”,tanya Vian lagi.
“Hatiku rasanya tak karuan, masa senjata makan tuan,”ucapku dalam hati.
“Aku pilih truth”, jawabku.
 “Pertanyaanku sedikit privasi, Dewi menyukai Vian tidak? Maksudku, Vian termasuk tipe pria yang Dewi suka tidak?” tanya Benny dengan berhati-hati.
“Kow malah jadi ke aku sih?” tanya Vian.
“Kan tidak apa, semua juga tahu kalau Vian suka dengan Dewi. Bagaimana kalau Vian tembak Dewi sekarang saja?”,sambung Benny lagi.
“Tidak, Vian cocoknya dijadikan teman saja’, jawabku tegas.
“Jadi, maksudnya bukan tipe pria yang Dewi suka”,tanya Benny lagi.
“Cukup sekalikan pertanyaannya, bukan berulang-ulang,”jawabku dengan kasar.
“Kita lanjut lagi permainannya,”ucap kakak Ani sambil menginjak kaki Benny.
“Sakit tahu,”teriak Benny kencang.
“Kenapa”,tanya Vian.
“Tidak apa-apa, abu rokok mengenai bajuku tadi,”jawab Benny.
Vian kembali memutar botol pada sesi kedua. Tapi dalam hatinya terluka dengan kejujuran Dewi. Botolnya terus berputar dan berhenti dihadapan Benny. Tanpa perlu menunggu, aku langsung saja bertanya.
“Aku tahu pasti kamu pilih truth, langsung saja ke pertanyaannya. Ada yang kamu sembunyikan dari kita berempat tidak?” tanyaku
“Kan, aku belum jawab pilih truth or dare”,jawab Benny sambil menoleh ke kakak Ani.
“Jawab saja,”sambung kakak Ani.
“Tidaklah”,jawab Benny.
“Yakin atau aku saja yang sampaikan ke Vian,”ucapku sambil mencari handphone dalam tas.
“Ada apa sih?”tanya Vian bingung.
“Tidak ada apa-apa, Vian. Dewi suka gitu orangnya, sok tahu”,ucap Benny sambil menyakinkan Vian.
“Aku malah tidak tahu apa-apa”,sambung Carlos dan kakak Ani.
“Lebih baik aku balik saja”,ucap Vian kesal dengan tingkah teman-temannya sambil meletakkan uang di atas meja.
“Vian, kamu marah ya”,tanya Benny dengan khawatir.
“Tidaklah, aku ngantuk”,jawab Vian pergi meninggalkan teman-temannya.
Kemudian satu persatu mulai pergi meninggalkan warung kopi termasuk aku, tersisa Benny yang masih asik melanjutkan minum kopi dan merokok. Aku pamit untuk meninggalkannya.
“Aku duluan ya,”ucapku kepada Benny.
“Selamat malam,”sambungku lagi.
Sepertinya aku yang akan terbakar dan menjadi debu. Dia hanya berdiam tanpa menjawab sepatah kata ucapanku. Akupun berlalu begitu saja dengan tidak memperdulikannya.
“Tunggu”,jawabnya.
“Aku hanya ingin menjauh dan merelakan kamu pergi, itu saja. Kadang kamu juga sering membuatku bingung dan merasa bersalah. Aku harus bagaimana, dia sahabatku, dan kami berdua sama-sama mencintaimu. Aku bukan lari ataupun bersembunyi, aku merasa tak pantas berada di sampingmu. Kamu itu mahal, tak ternilai dan berharga seperti berlian”,ucapnya lagi
Langkahku terhenti mendengar ucapannya, tepat di depan pintu keluar menuju tempat parkir. Rasa-rasanya jantungku seketika berhenti berdetak, nafas pun sesak.
“Apakah ini hanyalah mimpi, jika benar ini mimpi, tolong sadaranku sebelum jatuh terlalu dalam?” tanyaku dalam hati. 
Namun, suaranya terus-menerus terngiang-ngiang dalam sukma jiwa, tanpa sadar dia sudah berada di belakangku. Dia berusaha untuk mengajakku bicara, tapi aku masih saja menolak sambil terus menahan tangis.
“Aku malu karena terlalu jujur dalam mengutarakan rasa. Aku gagal menjadi cewek yang kuat, mandiri dan berharga seperti katanya. Aku juga malu terhadap penilaian teman-teman nantinya. Aku bahkan takut berakhir dengan luka seperti yang sudah-sudah”, ucapku dalam hati.
Setelah cukup tenang dan yakin, akhirnya aku berbalik dan menatapnya. Butuh waktu lama untuk memulai pembicaraan yang baru, selama itu kita hanya duduk terdiam tanpa kata sambil memperhatikan satu sama lain. Tiga puluh menit pertama berlalu, hanya satu kata yang keluar dari mulutnya.
“M-A-A-F”! ucapnya.
Aku tetap terdiam menatap ke arah yang berlainan. Tiga puluh menit kedua, barulah suasana itu mencair seperti biasanya. Bukan orang asing lagi yang terlihat. Kita saling mengutarakan rasa yang ada. Sampai akhirnya, kita sepakat menjadi tim dalam satu studi yang dijalankan. Malam itu, malam minggu pertama kita sebagai sepasang kekasih. Senang, bahagia, malu-malu, gengsi bercampur menjadi satu itulah cinta. Hahaha. Kita mulai bercanda satu satu sama lain.
 “Kenapa Tuhan berikan rasa nyaman ini harus ke kamu bukan kepada yang lain?” tanyaku padanya.
“Karena Tuhan tahu aku yang terbaik dari yang baik”, jawabnya.
“Hahaha, cakep juga tidak tapi pedenya selangit”,ucapku.
“Ya tidak apa-apa,”jawabnya.
Setelah cukup lama menikmati rintik hujan di malam minggu, kita pun akhirnya memutuskan untuk pulang sebelum malam semakin dingin dan hujan deras. Kebetulan sekali, rumah kita berdua tak terlalu jauh dari kampus tempat menimba ilmu dan searah pula.
Sebelum merencanakan kegiatan besok dengannya, ada cerita lucu versiku bersamanya, tapi tak tahu apakah ini lucu bagi yang membacanya. Jadi begini, setelah dia selesai mengutarakan perasaan, aku diberi waktu untuk menjawab, anehnya aku tidak mengatakan YA atau TIDAK yang aku lakukan hanya melalui gesture sambil mengangguk. Dalam pikirku, pasti dia paham maksud gerak tubuhku tanpa perlu aku utarakan lagi. Setelah itu berlanjut ke pembicaraan lainnya, sampai akhirnya kita memutuskan untuk pulang. Bersamaan juga keluar dari warung kopi tersebut menuju tempat parkir sambil mengucapkan salam perpisahan.
“Bye, bye, sampai bertemu lagi besok siang di kampus”, ucapku.
“Oke. Hati-hati ya”, jawabnya.
Selama perjalanan dari warung kopi ke rumah, ternyata dia membuntutiku dari belakang tanpa ketahuan padahal jarak tempat tinggalnya lebih dekat dari warung kopi dan kampus. Aku pun terkejut sampai rumah, bukannya tak terbiasa tapi lebih kepada aku mampu sendiri selama masih bisa dilakukan. Sebelum masuk rumah, dia menarik tanganku.
“Bagaimana jawabannya?,” tanya dia padaku.
Aku malah semakin bingung.
“Jawaban apa yang kamu maksudkan,” tanyaku.
“Pertanyaanku saat di warung kopi tadi,” ucapnya.
 Sontak aku tertawa di hadapannya. Dia malu dan bingung saat aku menertawakannya.
”Memang ada yang lucu dari pertanyaanku, ya sudah aku pulang saja, palingan juga jawabanmu pasti tidak,” ucapnya.
Aku balik menarik tangan dia.
”Iya, aku mau jadi pacarmu, puaskah kamu atas jawabanku?” berbisik di telinganya.
Tanpa balas berkata dia langsung memeluk dan mencium keningku, kemudian berlalu begitu saja dan pulang. Setelah selesai peristiwa mengagumkan itu, aku malah dapat kejutan ucapan selamat saat membuka pintu rumah, seketika langsung memerah pipiku, maklum saja yang tinggal di dalam rumah pada kepoan orangya. Berlalu begitu saja tanpa berucap apa-apa, membuka dan menutup pintu kamar, mencari diary’ku untuk berbagi kisah indah sepanjang hari tadi.
Di waktu yang bersamaan, saat membuka pintu ada yang berdering, kocar-kacir seluruh barang yang ada di meja dan tempat tidur hanya untuk mencari dimana sumber suara itu berasal. Alhasilnya, ternyata handphone tersimpan rapi dalam tas yang sedari aku bawa saat pulang bertemu dengannya. Membiarkan saja kamar yang berantakan itu tanpa memperdulikannya, bahkan tidur di atasnya pun tak menjadi masalah sambil mengecek pemberitahuan yang masuk. Aku mendapat voice note sebuah ucapan manis darinya.
“Terima kasih untuk hari ini pacar galak’ku. Selamat beristirahat, mimpi yang indah dan sampai bertemu kembali di hari esok” ucapnya melalui Whatsapp.
Semua ucapan manisnya itu terukir dalam setiap lembar diary’ku.
Keesokan paginya, setelah terbangun dari tidur, aku kembali mendapat pesan singkat darinya.
“Selamat pagi, nona Maumere’ku. Apa kabarmu hari ini? Pasti semalam tidurnya nyenyak, habis dicium Reza Rahardian versi KW sebelum tidur malam. Jangan lupa kuliah, jangan lupa aku juga. I LOVE YOUUUUU”, tulisnya.
”Selamat pagi dan selamat beraktivitas, sayang. Sampai bertemu di kampus ya. Bye.. I LOVE YOU TOO ditambah emotion,” balasku.
Berharap pesanku dibalasannya lagi. Menunggu satu jam tak juga dibalas, akhirnya aku tinggalkan handphone di dalam kamar menuju dapur untuk membereskan piring-piring kotor yang menumpuk semalam. Setelah selesai mencuci piring, selanjutnya pekerjaan rumah lainnya yaitu menyapu dan mengepel, kadang-kadang juga membantu mama memasak, jika tak terlalu sibuk dengan tugas kuliah dan kegiatan organisasi kampus atau tidak berbenturan saja dengan jadwal kuliah. Beruntungnya lagi, jadwal kuliah selalu di waktu siang dan sore hari. Di sela-sela waktu pagi sampai siang aku habiskan di rumah untuk membantu atau sekedar menyelesaikan pekerjaan lainnya yang membutuhkanku di sana.
Setelah semua pekerjaan rumah selesai, pukul 12.00 WITA adalah waktu bersiap-siap sebelum berangkat ke kampus, walau pun kuliahnya masih dua jam lagi pukul 14.00 WITA, aku merupakan salah satu mahasiswa yang lebih suka segala sesuatu tertata rapi tanpa terburu-buru bahkan berlari-lari atau berkejar-kejaran dengan waktu, selain suhu di daerahku yang terbilang sangat panas. Sepertinya, kebiasaan baik’ku menjadi hal positif baginya, terbukti satu jam sebelum berangkat kuliah dia sudah berada di rumah untuk menjemputku tanpa mengabari terlebih dahulu. Entah aku yang merasukinya atau aku lupa memeriksa kembali handphone atau mungkin lagi dia sengaja memberiku surprize sehari setelah hari jadian kita. Sebenarnya antara senang dan marah, bersiap seadanya karena merasa tak sampai hati membiarkannya menunggu terlalu lama.
Sepanjang perjalanan dari rumah ke kampus, selama itu juga mulutku tak berhenti berucap.
“Aku tahu, kamu itu baik tapi bukan berarti ke rumah tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, make upnya kan kurang maksimal”, ucapku kesal.
“Ya sudah, nanti sampai kampus make up lagi sana atau tak perlu make up sama sekali. Aku lebih suka kamu cantik apa adanya, bahkan saat kamu bangun tidur saja aku sudah suka”, pungkasnya.
Spontan, aku langsung mencubitnya.
”Sejak kapan kamu melihatku saat bangun tidur? tanyaku.
“Kan waktu itu aku pernah ke rumah, sore harinya saat kamu baru bangun tidur, itu pun dibangunkan mama. Aku ke sana juga hanya untuk mengambil laporan magang kita”, ucapnya.
“Tapi benaran, waktu itu kamu cantik sekali sayang”, ucapnya lagi.
“Sudah berapa banyak wanita yang kamu gombal seperti itu”, tanyaku.
Dia membalas lewat senyuman yang aku lihat melalui kaca spion motor.  Saat tiba di kampus, kehebohan pun terjadi. Semua mata tertuju pada kita berdua. Gosip terakhir yang mereka ketahui bukanlah cowok ini yang menyukaiku tetapi yang lain. Selain itu, kebiasaanku selama berkuliah di kampus tak seorang pun cowok yang terlihat berboncengan denganku kecuali saudara keluarga bapak dan mama ataupun tetangga yang satu tempat kuliah, ditambah lagi banyak yang mengenalku sebagai cewek mandiri dan berwibawa serta anak dari salah satu dosen di kampus tersebut. Di sela-sela waktu istirahat kuliah banyak teman-teman yang mulai bertanya.
“Ini sudahkah cowoknya”, ucap Hilka.
“Kebetulan saja”, jawabku dengan santai.
“Tidak mungkinlah, aku tahu sifatmu dari SMA,”tanya Hilka lagi.
“Kalau ada pasti aku ceritakan,”jawabku.
“Hellooo, sejak kapan seorang Dewi mau menceritakan segala sesuatu kalau bukan ketahuan dulu”,ucap Hilka sambil menggodaku.
“Hahaha, aku masuk kuliah dulu, dosennya sudah masuk,”jawabku.
“Oke.. Oke..”,ucap Hilka.
Aku memang selalu saja begitu, menjawab di luar dari pertanyaan yang diberikan. Bukan menutupi suatu hubungan tapi aku bukan tipe orang yang gampang berbagi atas segala hal pribadi. Mungkin karena inilah yang akhirnya membuat aku menangis saat tahu pengorbananku ternyata balik dikhianti juga. Kisah yang dibangun cukup lama, sekitar 3 tahun harus pergi, karena satu kesalahan yang ditutupi yaitu BOHONG. Itulah cinta, datang dan pergi melalui air mata, entah air mata itu kebahagiaan atau air mata luka.
“Deewwwiii”,teriak Hilka.
“Ada apa sih teriak-teriak, sakit kupingku”,jawabku.
“Mau tanya, tumben hari ini tidak bareng dia lagi”,tanya Hilka.
“Kan, kebetulan saja yang kemarin. Emang tiap hari ya aku dengan dia”,tanyaku kesal.
“Mending kita ngopi atau ngeteh saja di warung kopi depan daripada bahas yang tidak penting”,sambungku lagi.
“Tapi kamu yang bayar ya”,ucap Hilka.
“Gampang, ayo jalan,”jawabku makin kesal.
“Jangan marah nona Maumere manise, aku ambil motor dulu ya. Panas tahu kalau harus jalan kaki”,ucap Hilka.
“Kan sekalian pulang, sambungnya lagi.
“Aku masih kuliah”,jawabku.
“Ya sudah kuliah sana dulu, aku tunggu sampai kamu pulang”,jawab Hilka.
“Baik betul kamu ya, kalau ada maunya. Sekarang masih istirahat tak perlu menunggu”,ucapku.
Oh, iya. Aku lupa. Maaf!” ucapnya sambil tertawa.
Sungguh lucu jika mengingat semua itu, dan kenyataan bahwa kini kita sudah saling meninggalkan. Kamu bahkan sudah melangkah jauh di depan. Sungguh lucu dan menyedihkan. Sementara kamu sudah bisa tersenyum lepas dan menyambut masa depan, aku masih saja tertinggal di sini. Memutar kembali segala kenangan, yang sebenarnya aku tahu pasti, tak akan membawaku ke mana-mana.
“Bagaimana kamu bisa begitu cepat melupakan semua? Apakah kamu memang pandai menyembuhkan luka, ataukah memang bagimu, kita, tak terlalu berharga?” tanyaku dalam hati.
Tapi lagi-lagi, sudahlah. Ini hanyalah kenangan tak bermakna dari orang yang masih memendam rasa. Bagaimanapun juga kita telah sepakat. Bagus kita tidak berpisah dengan segala sumpah serapah. Kita telah sepakat dalam segala hal, dan yakin bahwa segalanya memang sudah semestinya. Jika sekarang rindu dan kenangan ini masih menjeratku dengan ketat, tentu itu bukan salahmu. Kenangan akan tetap sama. Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Bukankah begitu?
Karena kamu sudah berjalan ke depan, maka teruslah melangkah. Tak perlu lagi kamu menengok ke belakang. Tapi jika kamu memang melakukannya, barangkali kamu akan menemukanku di sini. Tapi ingatlah satu hal, meski aku masih begini, meski kenangan tentang kita masih menghantui alam bawah sadarku, bukan berarti aku ingin memulainya lagi. Aku sudah cukup tahu diri. Aku juga mengerti, bahwa ada hal yang patut diteruskan dan ada yang tidak layak dipertahankan.
Bagian terberat dari sebuah hubungan barangkali soal melupakan. Kadang aku bertanya-tanya, bagaimana aku bisa melangkah jika dari segala arah, kamu masih mendominasi semua rasa. Tapi tak apa. Aku tahu ini hanyalah sementara. Aku masih terus berusaha. Barangkali rasa kita memang berbeda, sehingga aku butuh waktu sedikit lebih lama. Semuanya memang butuh proses. Hingga suatu saat nanti, sama sepertimu, aku akan bisa mengucapkan selamat tinggal pada apa yang hanya tinggal di kenangan.

Salam, Untuk seseorang di masa lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar