SEPOTONG KENANGAN DI WARUNG KOPI
(Oleh Trisnawati Bura; Alumni IKIP Muhammadiyah Maumere. Saat ini sedang menempuh Studi Jenjang S2 di Universitas Muhammadiyah Malang)
Saat membicarakan tentang masa lalu seharusnya kita sama-sama
tahu bahwa masa itu sudah berakhir. Segala yang hadir dalam ingatan bukan lagi
apa yang sedang terjadi, tetapi apa yang sudah terjadi dan berlalu. Tapi mengingkarinya
juga tidak berpengaruh apa-apa, karena kenangan itu sering hadir tanpa kata.
Saat sesuatu sudah berakhir yang tersisa tinggal kenangan. Kadang hadir bersama
rintik hujan, saat membaca novel dan tempat tongkrongan.
“Bukannya aku
tak suka, tapi terkadang aku tak bisa mencegahnya”, tanyaku dalam hati.
“Lantas aku akan
mengingat runutan kisah kita, mulai dari awal berjumpa”, tanyaku sekali lagi.
Saat itu aku dan kamu sama-sama tak saling menyukai bahkan
saling membenci, sampai akhirnya aku dan kamu menjadi begitu istimewa. Walau
pun terlambat, tapi tak ada yang salah dalam cinta. Kisah awal perjumpaan kita
dimulai dari satu kelas yang sama di bangku kuliah, namun tak pernah saling
menyapa. Entahlah, apa yang membuat kita berdiam bahkan tak saling menyukai. Kita
bahkan saling menunjukkan siapakah yang menjadi idola dalam kelas, baik dalam
kegiatan akademik ataupun non akademik.
Marah, kesal, jengkel itu yang kita rasakan sampai-sampai meja dan kursi
pun menjadi saksi amarah itu berkobar-kobar. Api ketidaksukaan terus saja
meningkat sering bertambahnya semester yang telah dilalui bahkan lebih memanas
dan memuncak saat kita disatukan dalam kelompok sekolah magang yang sama.
Misalnya, hanya sekedar untuk berbagi hasil pengamatan saja, rasanya
berat dan tak rela.
“Aku yang
bertanya, dia yang menikmatinya”, bisik’ku dalam hati dengan penuh amarah.
Sampai pada
akhirnya, amarah itu perlahan-lahan mulai memudar sedikit demi sedikit seiring
canda teman-teman magang tentang Tom & Jerry diantara kita berdua.
“Awas, biasanya
cinta itu berawal dari kebencian dan ketidaksukaan yang mendalam, hati-hati loh
entar bisa kecintaan banget sama dia”, pungkas salah satu teman magang kita.
Aku tak ambil pusing, malah sibuk melihat data-data
yang diperoleh dari hasil pengamatan. Di samping itu, aku bersama-sama dengan teman
lainnya juga menulis hasil laporan magang.
“Sepertinya ada
yang kurang dan berbeda dari pandangan mata, tapi aku tak terlalu memusingkan
hal itu,” bertanya dalam hati.
Aku baru menyadari setelah beberapa hari berlalu, ternyata dia
tak lagi berada dihadapanku walau hanya membuatku marah saat melihatnya. Dari
situlah, aku mulai merindukan segala hal tentangnya, kebiasaan dia yang sering terlambat datang pagi sampai malasnya dia
saat dimintai tolong untuk berbagi hasil kegiatan pengamatan.
Setelah beberapa lama menghilang tanpa kabar, tiba-tiba dirinya
datang, aku sendiri malah yang berakhir dengan salah tingkah dan hampir sempat
nabrak pintu, kursi apa meja waktu itu. Bahkan aku juga sampai berpura-pura
tidak memperdulikannya hanya untuk memastikan apakah dia masih memperhatikanku
atau tidak. Nyatanya, aku mendapat apa-apa dan kembalilah pada diriku yang
sesungguhnya, cuek dan masa bodoh. Sampai akhirnya, aku sendiri yang mendapat
surprize kalau dia juga menyukaiku di hari terakhir magang sekolah, tetapi
melalui sahabat baiknya sekaligus kakak perempuan yang sudah dia anggap dari
awal perkuliahan sebagai mahasiswa.
“Ade, kamu harus tahu ternyata selama ini dia memendam rasa
denganmu”, ucap kakak perempuannya saat kita bertemu setelah pulang sekolah.
“Tanpa perlu
disampaikan juga, aku sudah tahu dari dulu. Gengsi saja mau bilang, ucap’ku
dengan segala ketahuan, padahal dalam hati terkejut juga sambil bilang
“akhirnya rasaku tak bertepuk sebelah tangan juga”. HAHAHAHA
“Memangnya ade
tahu dari mana?” tanya kakaknya lagi.
“Tahu saja dari
cara dia menggodaku”, jawabku dengan sok-sokan.
“Baiklah kalau
ade sudah tahu, kakak senang dengarnya. Tapi ada satu hal yang pastinya ade
belum tahu?’ tanya kakaknya lagi.
“Apa sih yang
aku tidak tahu tentang dia? tanya’ku balik.
“Awalnya dia
mendekati dan menggoda ade hanya untuk mencari tahu, seistimewa apa sampai-sampai
sahabat baiknya bisa sedalam itu mencintai ade. Namun, lama-kelamaan akhirnya
dia menemukan jawabannya sendiri, sosok cewek yang mandiri tanpa neko-neko”,
ucapnya.
“Tapi yang
menjadi permasalahannya sekarang adalah mengikhlaskan yang dicintai untuk
sahabat baiknya”, sambungnya lagi.
“Aku bukan
barang yang seenaknya diberikan ke siapapun”, jawab’ku sambil menghidupkan
motor matic hitam dan berlalu begitu saja.
Ketika harapan direstui, tapi semesta malah belum
mendukungnya, bahkan merampas dan membiarkan luka itu tersayat semakin besar.
Sakit memang sakit, cinta yang semestinya dirasakan malah dilimpahkan kepada
yang sepihak, sebagai pemberian janji bukti bahwa, “berhasil telah membuatku
jatuh cinta” tanpa memperdulikan siapa yang dicintainya dan beraninya juga membohongi
diri sendiri untuk kebahagiaan yang lainnya.
Sampai pada satu waktu, ketidaknyamanan aku yang akhirnya meluruskan
semuanya. Aku benci segala kebohongan yang bersembunyi atas nama persahabatan
dan pengorbanan dengan mengajak beberapa teman yang terlibat dalam derita ini
untuk sama-sama bermain api dan terbakar setelah pulang kuliah sore.
“Nongkrong yuk,”
ajak aku.
“Dimana?” sahut
mereka berempat dengan kompak.
“Tempat biasa
kalian bertiga ngopi,”jawabku.
“Ayo, sudah
seminggu tidak ke sana, ucap Carlos.
“Tapi siapa yang
bayar?” sambung Carlos.
“Tenang tidak
usah khawatir, aku yang bayar,” jawab Vian.
Aku dan keempat teman
lainnya bersama-sama ke warung kopi yang berlokasi tak jauh dari kampus dengan
kendaraan roda dua. Setelah sampai, kami langsung memesan beberapa makanan dan
minuman.
“Bu... bu...”,
ucapku sambil melihat daftar menu.
“Iya, nak. Aku
pesan apa?” tanya ibu pemilik warung kopi.
“Aku pesan satu
susu hangat, Bu. Teman-teman lain pesan apa?” tanyaku.
“Kopi hitam,”
ucap ketiganya, Carlos, Vian dan Benny dengan kompak.
“Kakak Ani pesan
apa?” tanyaku lagi.
“Ikut adik
saja,”jawab kakak Ani.
“Maaf ya Bu,
kelamaan mesannya. 2 susu hangat, 3 kopi hitam dan 3 pisang keju
coklat”,ucapku.
“Iya nak, tidak
apa-apa. Di tunggu ya pesanannya. Ibu buatkan dulu. Mari, nak. Ibu permisi ke
belakang dulu”,ucap ibu pemilik warung kopi.
“Sambil menunggu
pesan, bagaimana kita bermain “truth or dare” (jujur atau berani)? Permainannya
sungguh sangat muda, kita cukup menyediakan satu botol kaca untuk diputar
mengelilingi teman, jika ujung tutup botol berhenti tepat di depan kita maka
orang tersebut wajib memilih untuk dilakukan. Tapi perlu diingat, ToD adalah
sebuah permainan ekstrim yang memaksa seseorang untuk bertanggung jawab atas pilihannya”,ucapku.
Baiklah, siapa
takut”,ucap Vian.
Ketiga teman lainnya pada takut kebakar, takut ketahuan kalau
ada yang ditutup-tutupi dari Vian, sampai-sampai tidak menjawab saat ditanya.
“Kow yang lain
tidak jawab sih”,tanya Vian.
“Iya,
main-main,”jawab Carles.
“Mainlah”,jawab
Benny dan kakak Ani sambil melihat.
“Satu dua
tiga”,ucap Vian sambil memutar botolnya.
Saat botolnya masih berputar mengelilingi kami berlima, ibu
pemilik warung kopi tadi datang mengantarkan pesanan.
“Maaf ya, nak.
Menunggu agak lama soalnya ibu mengerjakannya sendiri”, ucap ibu.
“Iya bu, tidak
apa-apa”,jawab kakak Ani.
“Makasih ya,
bu”, sambungku.
“Iya sama-sama
nak, selamat menikmati,”jawab ibu.
Ibu balik ke belakang dan kami berlima menyambung kembali
permainannya.
“Kita ulang lagi
ya,”ucap Vian.
“Silahkan”,jawab
Benny.
Vian memutar botol sekali lagi dan ujung tutup botol tersebut
mengarah kepadaku.
“Silahkan, siapa
yang mau bertanya?” tanya Vian.
“Aku”,jawab
Benny sambil mengangkat tangan.
Tapi sebelumnya
Dewi pilih dulu “truth or dare” ”,tanya
Vian lagi.
“Hatiku rasanya
tak karuan, masa senjata makan tuan,”ucapku dalam hati.
“Aku pilih truth”,
jawabku.
“Pertanyaanku sedikit privasi, Dewi menyukai
Vian tidak? Maksudku, Vian termasuk tipe pria yang Dewi suka tidak?” tanya
Benny dengan berhati-hati.
“Kow malah jadi
ke aku sih?” tanya Vian.
“Kan tidak apa,
semua juga tahu kalau Vian suka dengan Dewi. Bagaimana kalau Vian tembak Dewi
sekarang saja?”,sambung Benny lagi.
“Tidak, Vian
cocoknya dijadikan teman saja’, jawabku tegas.
“Jadi, maksudnya
bukan tipe pria yang Dewi suka”,tanya Benny lagi.
“Cukup sekalikan
pertanyaannya, bukan berulang-ulang,”jawabku dengan kasar.
“Kita lanjut
lagi permainannya,”ucap kakak Ani sambil menginjak kaki Benny.
“Sakit tahu,”teriak
Benny kencang.
“Kenapa”,tanya
Vian.
“Tidak apa-apa,
abu rokok mengenai bajuku tadi,”jawab Benny.
Vian kembali memutar botol pada sesi kedua. Tapi dalam
hatinya terluka dengan kejujuran Dewi. Botolnya terus berputar dan berhenti
dihadapan Benny. Tanpa perlu menunggu, aku langsung saja bertanya.
“Aku tahu pasti
kamu pilih truth, langsung saja ke pertanyaannya. Ada yang kamu sembunyikan
dari kita berempat tidak?” tanyaku
“Kan, aku belum
jawab pilih truth or dare”,jawab Benny sambil menoleh ke kakak Ani.
“Jawab
saja,”sambung kakak Ani.
“Tidaklah”,jawab
Benny.
“Yakin atau aku
saja yang sampaikan ke Vian,”ucapku sambil mencari handphone dalam tas.
“Ada apa
sih?”tanya Vian bingung.
“Tidak ada
apa-apa, Vian. Dewi suka gitu orangnya, sok tahu”,ucap Benny sambil menyakinkan
Vian.
“Aku malah tidak
tahu apa-apa”,sambung Carlos dan kakak Ani.
“Lebih baik aku
balik saja”,ucap Vian kesal dengan tingkah teman-temannya sambil meletakkan
uang di atas meja.
“Vian, kamu
marah ya”,tanya Benny dengan khawatir.
“Tidaklah, aku
ngantuk”,jawab Vian pergi meninggalkan teman-temannya.
Kemudian satu
persatu mulai pergi meninggalkan warung kopi termasuk aku, tersisa Benny yang
masih asik melanjutkan minum kopi dan merokok. Aku pamit untuk meninggalkannya.
“Aku duluan ya,”ucapku
kepada Benny.
“Selamat
malam,”sambungku lagi.
Sepertinya aku yang akan terbakar dan menjadi debu. Dia hanya
berdiam tanpa menjawab sepatah kata ucapanku. Akupun berlalu begitu saja dengan
tidak memperdulikannya.
“Tunggu”,jawabnya.
“Aku hanya ingin
menjauh dan merelakan kamu pergi, itu saja. Kadang kamu juga sering membuatku
bingung dan merasa bersalah. Aku harus bagaimana, dia sahabatku, dan kami
berdua sama-sama mencintaimu. Aku bukan lari ataupun bersembunyi, aku merasa tak
pantas berada di sampingmu. Kamu itu mahal, tak ternilai dan berharga seperti
berlian”,ucapnya lagi
Langkahku terhenti mendengar ucapannya, tepat di depan pintu
keluar menuju tempat parkir. Rasa-rasanya jantungku seketika berhenti berdetak,
nafas pun sesak.
“Apakah ini
hanyalah mimpi, jika benar ini mimpi, tolong sadaranku sebelum jatuh terlalu
dalam?” tanyaku dalam hati.
Namun, suaranya terus-menerus terngiang-ngiang dalam sukma
jiwa, tanpa sadar dia sudah berada di belakangku. Dia berusaha untuk mengajakku
bicara, tapi aku masih saja menolak sambil terus menahan tangis.
“Aku malu karena
terlalu jujur dalam mengutarakan rasa. Aku gagal menjadi cewek yang kuat, mandiri
dan berharga seperti katanya. Aku juga malu terhadap penilaian teman-teman
nantinya. Aku bahkan takut berakhir dengan luka seperti yang sudah-sudah”, ucapku
dalam hati.
Setelah cukup tenang dan yakin, akhirnya aku berbalik dan
menatapnya. Butuh waktu lama untuk memulai pembicaraan yang baru, selama itu
kita hanya duduk terdiam tanpa kata sambil memperhatikan satu sama lain. Tiga
puluh menit pertama berlalu, hanya satu kata yang keluar dari mulutnya.
“M-A-A-F”!
ucapnya.
Aku tetap terdiam menatap ke arah yang berlainan. Tiga puluh
menit kedua, barulah suasana itu mencair seperti biasanya. Bukan orang asing
lagi yang terlihat. Kita saling mengutarakan rasa yang ada. Sampai akhirnya,
kita sepakat menjadi tim dalam satu studi yang dijalankan. Malam itu, malam
minggu pertama kita sebagai sepasang kekasih. Senang, bahagia, malu-malu,
gengsi bercampur menjadi satu itulah cinta. Hahaha. Kita mulai bercanda satu
satu sama lain.
“Kenapa Tuhan berikan rasa nyaman ini harus ke
kamu bukan kepada yang lain?” tanyaku padanya.
“Karena Tuhan
tahu aku yang terbaik dari yang baik”, jawabnya.
“Hahaha, cakep
juga tidak tapi pedenya selangit”,ucapku.
“Ya tidak
apa-apa,”jawabnya.
Setelah cukup lama menikmati rintik hujan di malam minggu,
kita pun akhirnya memutuskan untuk pulang sebelum malam semakin dingin dan hujan
deras. Kebetulan sekali, rumah kita berdua tak terlalu jauh dari kampus tempat
menimba ilmu dan searah pula.
Sebelum
merencanakan kegiatan besok dengannya, ada cerita lucu versiku bersamanya, tapi
tak tahu apakah ini lucu bagi yang membacanya. Jadi begini, setelah dia selesai
mengutarakan perasaan, aku diberi waktu untuk menjawab, anehnya aku tidak
mengatakan YA atau TIDAK yang aku lakukan hanya melalui gesture sambil mengangguk.
Dalam pikirku, pasti dia paham maksud gerak tubuhku tanpa perlu aku utarakan
lagi. Setelah itu berlanjut ke pembicaraan lainnya, sampai akhirnya kita
memutuskan untuk pulang. Bersamaan juga keluar dari warung kopi tersebut menuju
tempat parkir sambil mengucapkan salam perpisahan.
“Bye, bye, sampai
bertemu lagi besok siang di kampus”, ucapku.
“Oke. Hati-hati
ya”, jawabnya.
Selama perjalanan dari warung kopi ke rumah, ternyata dia
membuntutiku dari belakang tanpa ketahuan padahal jarak tempat tinggalnya lebih
dekat dari warung kopi dan kampus. Aku pun terkejut sampai rumah, bukannya tak
terbiasa tapi lebih kepada aku mampu sendiri selama masih bisa dilakukan.
Sebelum masuk rumah, dia menarik tanganku.
“Bagaimana
jawabannya?,” tanya dia padaku.
Aku malah
semakin bingung.
“Jawaban apa
yang kamu maksudkan,” tanyaku.
“Pertanyaanku
saat di warung kopi tadi,” ucapnya.
Sontak aku tertawa di
hadapannya. Dia malu dan bingung saat aku menertawakannya.
”Memang ada yang
lucu dari pertanyaanku, ya sudah aku pulang saja, palingan juga jawabanmu pasti
tidak,” ucapnya.
Aku balik
menarik tangan dia.
”Iya, aku mau
jadi pacarmu, puaskah kamu atas jawabanku?” berbisik di telinganya.
Tanpa balas berkata dia langsung memeluk dan mencium
keningku, kemudian berlalu begitu saja dan pulang. Setelah selesai peristiwa
mengagumkan itu, aku malah dapat kejutan ucapan selamat saat membuka pintu
rumah, seketika langsung memerah pipiku, maklum saja yang tinggal di dalam
rumah pada kepoan orangya. Berlalu begitu saja tanpa berucap apa-apa, membuka
dan menutup pintu kamar, mencari diary’ku untuk berbagi kisah indah sepanjang hari
tadi.
Di waktu yang bersamaan, saat membuka pintu ada yang berdering,
kocar-kacir seluruh barang yang ada di meja dan tempat tidur hanya untuk
mencari dimana sumber suara itu berasal. Alhasilnya, ternyata handphone tersimpan
rapi dalam tas yang sedari aku bawa saat pulang bertemu dengannya. Membiarkan
saja kamar yang berantakan itu tanpa memperdulikannya, bahkan tidur di atasnya
pun tak menjadi masalah sambil mengecek pemberitahuan yang masuk. Aku mendapat
voice note sebuah ucapan manis darinya.
“Terima kasih untuk hari ini pacar galak’ku. Selamat
beristirahat, mimpi yang indah dan sampai bertemu kembali di hari esok” ucapnya
melalui Whatsapp.
Semua ucapan manisnya itu terukir dalam setiap lembar diary’ku.
Keesokan
paginya, setelah terbangun dari tidur, aku kembali mendapat pesan singkat
darinya.
“Selamat pagi,
nona Maumere’ku. Apa kabarmu hari ini? Pasti semalam tidurnya nyenyak, habis
dicium Reza Rahardian versi KW sebelum tidur malam. Jangan lupa kuliah, jangan
lupa aku juga. I LOVE YOUUUUU”, tulisnya.
”Selamat pagi
dan selamat beraktivitas, sayang. Sampai bertemu di kampus ya. Bye.. I LOVE YOU
TOO ditambah emotion,” balasku.
Berharap pesanku dibalasannya lagi. Menunggu satu jam tak
juga dibalas, akhirnya aku tinggalkan handphone di dalam kamar menuju dapur
untuk membereskan piring-piring kotor yang menumpuk semalam. Setelah selesai
mencuci piring, selanjutnya pekerjaan rumah lainnya yaitu menyapu dan mengepel,
kadang-kadang juga membantu mama memasak, jika tak terlalu sibuk dengan tugas
kuliah dan kegiatan organisasi kampus atau tidak berbenturan saja dengan jadwal
kuliah. Beruntungnya lagi, jadwal kuliah selalu di waktu siang dan sore hari.
Di sela-sela waktu pagi sampai siang aku habiskan di rumah untuk membantu atau sekedar
menyelesaikan pekerjaan lainnya yang membutuhkanku di sana.
Setelah semua pekerjaan rumah selesai, pukul 12.00 WITA
adalah waktu bersiap-siap sebelum berangkat ke kampus, walau pun kuliahnya masih
dua jam lagi pukul 14.00 WITA, aku merupakan salah satu mahasiswa yang lebih
suka segala sesuatu tertata rapi tanpa terburu-buru bahkan berlari-lari atau
berkejar-kejaran dengan waktu, selain suhu di daerahku yang terbilang sangat
panas. Sepertinya, kebiasaan baik’ku menjadi hal positif baginya, terbukti satu
jam sebelum berangkat kuliah dia sudah berada di rumah untuk menjemputku tanpa
mengabari terlebih dahulu. Entah aku yang merasukinya atau aku lupa memeriksa
kembali handphone atau mungkin lagi dia sengaja memberiku surprize sehari
setelah hari jadian kita. Sebenarnya antara senang dan marah, bersiap seadanya
karena merasa tak sampai hati membiarkannya menunggu terlalu lama.
Sepanjang
perjalanan dari rumah ke kampus, selama itu juga mulutku tak berhenti berucap.
“Aku tahu, kamu
itu baik tapi bukan berarti ke rumah tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, make
upnya kan kurang maksimal”, ucapku kesal.
“Ya sudah, nanti
sampai kampus make up lagi sana atau tak perlu make up sama sekali. Aku lebih
suka kamu cantik apa adanya, bahkan saat kamu bangun tidur saja aku sudah
suka”, pungkasnya.
Spontan, aku
langsung mencubitnya.
”Sejak kapan
kamu melihatku saat bangun tidur? tanyaku.
“Kan waktu itu
aku pernah ke rumah, sore harinya saat kamu baru bangun tidur, itu pun dibangunkan
mama. Aku ke sana juga hanya untuk mengambil laporan magang kita”, ucapnya.
“Tapi benaran,
waktu itu kamu cantik sekali sayang”, ucapnya lagi.
“Sudah berapa
banyak wanita yang kamu gombal seperti itu”, tanyaku.
Dia membalas
lewat senyuman yang aku lihat melalui kaca spion motor. Saat tiba di kampus, kehebohan pun terjadi. Semua
mata tertuju pada kita berdua. Gosip terakhir yang mereka ketahui bukanlah
cowok ini yang menyukaiku tetapi yang lain. Selain itu, kebiasaanku selama
berkuliah di kampus tak seorang pun cowok yang terlihat berboncengan denganku
kecuali saudara keluarga bapak dan mama ataupun tetangga yang satu tempat
kuliah, ditambah lagi banyak yang mengenalku sebagai cewek mandiri dan
berwibawa serta anak dari salah satu dosen di kampus tersebut. Di sela-sela
waktu istirahat kuliah banyak teman-teman yang mulai bertanya.
“Ini sudahkah
cowoknya”, ucap Hilka.
“Kebetulan
saja”, jawabku dengan santai.
“Tidak
mungkinlah, aku tahu sifatmu dari SMA,”tanya Hilka lagi.
“Kalau ada pasti
aku ceritakan,”jawabku.
“Hellooo, sejak
kapan seorang Dewi mau menceritakan segala sesuatu kalau bukan ketahuan
dulu”,ucap Hilka sambil menggodaku.
“Hahaha, aku
masuk kuliah dulu, dosennya sudah masuk,”jawabku.
“Oke..
Oke..”,ucap Hilka.
Aku memang selalu saja begitu, menjawab di luar dari pertanyaan
yang diberikan. Bukan menutupi suatu hubungan tapi aku bukan tipe orang yang
gampang berbagi atas segala hal pribadi. Mungkin karena inilah yang akhirnya
membuat aku menangis saat tahu pengorbananku ternyata balik dikhianti juga.
Kisah yang dibangun cukup lama, sekitar 3 tahun harus pergi, karena satu
kesalahan yang ditutupi yaitu BOHONG. Itulah cinta, datang dan pergi melalui
air mata, entah air mata itu kebahagiaan atau air mata luka.
“Deewwwiii”,teriak
Hilka.
“Ada apa sih
teriak-teriak, sakit kupingku”,jawabku.
“Mau tanya,
tumben hari ini tidak bareng dia lagi”,tanya Hilka.
“Kan, kebetulan
saja yang kemarin. Emang tiap hari ya aku dengan dia”,tanyaku kesal.
“Mending kita
ngopi atau ngeteh saja di warung kopi depan daripada bahas yang tidak
penting”,sambungku lagi.
“Tapi kamu yang
bayar ya”,ucap Hilka.
“Gampang, ayo
jalan,”jawabku makin kesal.
“Jangan marah
nona Maumere manise, aku ambil motor dulu ya. Panas tahu kalau harus jalan
kaki”,ucap Hilka.
“Kan sekalian
pulang, sambungnya lagi.
“Aku masih kuliah”,jawabku.
“Ya sudah kuliah
sana dulu, aku tunggu sampai kamu pulang”,jawab Hilka.
“Baik betul kamu
ya, kalau ada maunya. Sekarang masih istirahat tak perlu menunggu”,ucapku.
Oh, iya. Aku
lupa. Maaf!” ucapnya sambil tertawa.
Sungguh lucu jika mengingat semua itu, dan kenyataan bahwa
kini kita sudah saling meninggalkan. Kamu bahkan sudah melangkah jauh di depan.
Sungguh lucu dan menyedihkan. Sementara kamu sudah bisa tersenyum lepas dan
menyambut masa depan, aku masih saja tertinggal di sini. Memutar kembali segala
kenangan, yang sebenarnya aku tahu pasti, tak akan membawaku ke mana-mana.
“Bagaimana kamu
bisa begitu cepat melupakan semua? Apakah kamu memang pandai menyembuhkan luka,
ataukah memang bagimu, kita, tak terlalu berharga?” tanyaku dalam hati.
Tapi lagi-lagi, sudahlah. Ini hanyalah kenangan tak bermakna
dari orang yang masih memendam rasa. Bagaimanapun juga kita telah sepakat.
Bagus kita tidak berpisah dengan segala sumpah serapah. Kita telah sepakat
dalam segala hal, dan yakin bahwa segalanya memang sudah semestinya. Jika
sekarang rindu dan kenangan ini masih menjeratku dengan ketat, tentu itu bukan
salahmu. Kenangan akan tetap sama. Tinggal bagaimana kita menyikapinya.
Bukankah begitu?
Karena kamu sudah berjalan ke depan, maka teruslah melangkah.
Tak perlu lagi kamu menengok ke belakang. Tapi jika kamu memang melakukannya,
barangkali kamu akan menemukanku di sini. Tapi ingatlah satu hal, meski aku
masih begini, meski kenangan tentang kita masih menghantui alam bawah sadarku,
bukan berarti aku ingin memulainya lagi. Aku sudah cukup tahu diri. Aku juga
mengerti, bahwa ada hal yang patut diteruskan dan ada yang tidak layak
dipertahankan.
Bagian terberat dari sebuah hubungan barangkali soal
melupakan. Kadang aku bertanya-tanya, bagaimana aku bisa melangkah jika dari
segala arah, kamu masih mendominasi semua rasa. Tapi tak apa. Aku tahu ini
hanyalah sementara. Aku masih terus berusaha. Barangkali rasa kita memang
berbeda, sehingga aku butuh waktu sedikit lebih lama. Semuanya memang butuh
proses. Hingga suatu saat nanti, sama sepertimu, aku akan bisa mengucapkan
selamat tinggal pada apa yang hanya tinggal di kenangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar