(Oleh Trisnawati Bura: Alumni Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Muhammadiyah Maumere. Saat ini sedang melanjutkan studi jenjang S2 di Universitas Muhammadiyah Malang)
Matahari
seolah tersenyum saat menyinari sebagian bumi. Tak hanya matahari yang
tersenyum, namun sepasang kekasih ini juga tersenyum bahkan sesekali tertawa,
bercanda gurau dengan asiknya. Sepasang kekasih ini, Rino dan Nadyah, asik
bercanda gurau di sabtu sore pukul 16.00 WITA saat perkuliahan baru saja
berakhir dan satu persatu teman keluar dari kelas, tinggal keduanya yang masih
asik di kelas mencari tugas. Nadyah adalah gadis pemarah namun tidak serius
dalam memarahi orang. Sebenarnya dia wanita yang lembut, cantik, berkulit putih
dengan wajah oval dan berambut pirang. Keduanya menjalin hubungan kekasih sejak
SMA dan berencana bertunangan tahun ini.
“Ino, jaringannya lelet nih.
Pulang aja yuk”! ”Ah, pulang saja sendiri”, ketus Rino. Lalu, dibalas Dyah
dengan ketus pula, “ya sudah. Aku duluan saja”. HAHAHA, ngambek ini ee..., sambil
tertawa dengan tingkah lucu sang kekasih yang sedari tadi tidak bisa diajak
bercanda sedikitpun kemungkinan lelah atau datang bulan, sambil mencubit kedua
pipi kekasih tercintanya ini dengan gemas.
“Aduh, sakit tau!” jawab Dyah kembali
ketus kepada pacarnya. “Lagian kamu’kan orangnya sibuk”, sambil mematikan
laptop.
“Aku hanya bercanda, sayangku.
Kamu tidak lihat, laptopku sudah dari tadi dimatikan. Sebenarnya aku sudah mau ajak kamu balik,
hanya saja takut jawabanmu sama seperti jawabanku, makanya aku diam dan
menunggu saja. Lagian pria mana yang tidak ingin berlama-lama di samping pujaan
hatinya”.
“Hmmmm, alasan saja kamu,” ucapku
sedikit agak grogi saat mendengar rayuannya yang seketika itu membuat pipiku
mendadak memerah mirip seperti buah tomat, “tapi untung, wajah tomatku tak
sempat dilihatnya, bisa-bisa tambah malu aku ketahuan salah tingkat depannya”.
“Hahaha, simpanlah laptopmu! Aku ingin
mengajakmu jalan, sambil keduanya memasukan laptop ke dalam tas” tanpa
basa-basi Dyah langsung menjawab dengan penuh semangat, “baiklah, pacarku
sayang” sambil tersenyum dihadapan kekasihnya itu.
Keduanya
keluar kelas menuju tempat parkir, memakai motor matic milik Rino, keduanya
menuju Tangga Seribu salah satu tempat favorit Nadyah. Sesampainya di Tangga
Seribu, Rino memarkirkan motornya, keduanya duduk di motor sambil saling
berpegangan tangan.
“Kamu lihat burung itu, sayang?” menunjuk
ke arah seekor burung yang bertengger di ranting pohon. “Aku melihatnya, sayang”
jawab Dyah. “Betapa sedihnya aku jika harus sendiri tak bersamamu, seperti
burung itu”, sahut Rino pada Nadyah. “Ah, sayang, aku takkan mungkin
meninggalkanmu seperti burung itu, sambil mengenggam erat tangan Rino.
“Burung itu
tidak meninggalkan pasangannya, pasangannya’lah yang meninggalkan dia”,
sahutnya. Spontan, Nadyah langsung secepat kilat menjawab perkataan Rino tanpa
berpikir panjang, “jangan sok tau kamu, sayang” sambil mencubit tangan Rino.
“Sayang, dengarkan aku dulu, “tidak mungkin aku menyalahkan burung itu. Itu burung
jantan, jadi sesama laki-laki aku harus membelanya’kan. Siapa yang akan
membelanya jika saat ini dia sendiri di sana, haha”.
“Hahaha,
berlebihan sekali kamu sayang”, ucap Nadyah yang seketika itu suasana berubah
menjadi hening untuk beberapa saat. Setelah itu, Rino memanggil nama kekasih
hatinya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, “Dyah” yang langsung dibalas
Nadyah dengan penuh kelembutan juga, “Iya, Ino’ku sayang”.
“Aku
mencintaimu, Dyah”, memenggam tangan dan menciumnya.
“Aku juga
mencintaimu, Ino”, ucap Dyah dengan penuh kehangatan.
“Dyah, aku
takkan menyakitimu. Aku berjanji, aku akan selalu ada untukmu. Aku yang akan
membangunkanmu setiap pagi. Aku yang akan kamu lihat pertama kali untuk
mengawali pagimu”.
“Janji ya, Ino”,
sahut Dyah. “Iya, Dyah. Aku berjanji” ucap Rino.
“Aku
mencintaimu. Terimakasih untuk selama ini, selalu bersabar untukku”, pinta
Nadyah.
Rino dan Nadyah menikmati pemandangan
laut di atas bukit sambil Nadyah bersandar pada bahu kekasih hatinya itu untuk
memandangi keindahan ciptaan Tuhan. Rino tetap bersabar dan terus membelai
rambut Nadyah, walaupun bahunya mulai terasa pegal, namun dia tak ingin
menghilangkan kenyamanan yang didapati wanita kesayangannya yang sedang melamun
itu, karena Rino tahu betul Nadyah adalah penikmat senja. Rino menjadi terkejut
melihat Nadyah meneteskan air mata saat melihat senja yang perlahan-lahan
berubah warna orange atau jingga menuju langit malam yang gelap.
“Sayang, kamu
kenapa?” tanya Rino sambil menyingkirkan kepala Nadyah dari bahunya untuk
menyeka air mata yang membasahi pipi Dyah.
“Berjanjilah,
sayang! Berjanjilah kamu takkan biarkan aku seperti burung tadi. Aku tak ingin
sendiri tanpamu”, jawab Nadyah.
“Aku takkan
meninggalkanmu, Dyah”, ucap Rino sambil mencium kening dan memeluknya.
“Terimakasih
sayang”, jawab Dyah. Untuk beberapa saat keduanya terdiam tanpa kata, sambil
Rino memberikan waktu untuk kekasihnya itu menenangkan diri sebelum mengajaknya
pulang.
“Ayo sayang! Kita
pulang sebelum hari semakin larut malam, dingin dan akan turun hujan”, ucap
Rino sambil menarik tangan Nadyah yang sedari dari tadi masih saja duduk.
“Jangan lupakan
hari ulang tahunku yang tinggal beberapa hari lagi”, ucap Nadyah.
“Aku tidak
mungkin melupakan hari ulang tahun kesayanganku” jawab Rino.
Keduanya lalu kembali. Rino mengantar
Nadyah ke rumah. Setelah mengantar Nadyah, Rino pun kembali ke rumahnya dengan
mengendarai motor butut kesayangannya. Hari terus berlalu dan kedua pasangan
masih seperti biasanya, selalu bersama menghadirkan senyuman-senyuman bahagia.
Namun hari ini sangat berbeda, sebab Rino tidak mengikuti perkuliahan. Nomor
handphone Rino pun tidak bisa dihubungi. Sejak itu Rino tidak pernah datang
kuliah dan teman-teman tidak mengetahui kabar Rino. Setelah selesai
perkuliahan, Nadyah kembali sendiri ke rumah.
Udara malam minggu terasa sangat dingin, sebab hujan
malam minggu yang sangat deras baru saja berhenti membasahi jalan yang dilaluinya.
Saat udara yang dingin, di sebuah cafe tampaklah sepasang remaja sedang duduk
di meja tepat di samping jendela. Jendela cafe itu bening, sehingga akan jelas terlihat
dari luar ke dalam cafe. Rino dan Tika sangat gembira dalam cuaca dingin itu,
keduanya tertawa bahagia disela candaan. Kegembiraan keduanya terlihat oleh
Nadyah dari balik jendela. Gadis berambut pirang itu terpaku menatap kekasihnya
yang duduk bersama wanita yang tidak dikenali. Nadyah menjatuhkan air mata saat
melihat kekasihnya memberikan cincin kepada gadis itu. Nadyah berlari menjauhi
cafe yang penuh kesedihan itu. Nadyah duduk di bangku taman sambil menangis.
Tiba-tiba seorang pria datang menghampirinya, Nadyah lalu menengok dan melihat
seorang pria yang tak dikenali berdiri dihadapannya.
“Ini ambillah!
Kamu pasti memerlukan ini”, ucap Dewa sambil memberikan sapu tangan
“Terima kasih”,
sahut Nadyah sambil menerima sapu tangan dari Dewa untuk menyekah air mata.
“Siapa namamu”?
tanya Dewa, “Aku, Nadyah, jawabnya.
“Aku, Dewa.
Mengapa kamu menangis?” tanya Dewa lagi.
“ Aku tidak apa-apa.
Aku hanya bersedih, orang yang aku sayangi akan pergi jauh. Sahabatku akan
pergi melanjutkan sekolahnya di Jakarta”, jawab Nadyah.
“Oh, seharusnya
kamu bahagia, sebab temanmu tidak sakit atau dalam keadaan sakit. Kamu jangan
sedih. Temanmu hanya pergi bersekolah. Kalian pasti akan bertemu lagi”, jawab
Dewa menyakinkan Nadyah.
“Memang saat ini
dia tidak sakit. Dia sangat bahagia. Sungguh tega dirinya menyakiti aku, dia
bersama wanita lain”, terlintas dibenakku mengingat kembali kejadian di cafe
tadi sambil meremas-remas sapu tangan pemberian Dewa.
“Siapa yang kamu
bicarakan? Sahabatmu? tanya Dewa lagi.
“Jangan lagi
membahas tentang itu”, ucap Nadyah dengan nada kesal.
“Pacarmu?” tanya
Dewa dengan nada halus dan penuh kehati-hatian, “Eh, maafkan aku”, Nadyah ucap
Dewa.
Nadyah hanya
diam dan kembali meneteskan air mata. Pandangannya kosong ke arah sapu tangan yang
digengamannya. Dewa merasa kasihan dengan keadaan Nadyah.
“Sudahlah, rumah
kamu dimana? Biarkan aku mengantarmu pulang” tanya Dewa lagi.
“Aku bisa kembali
sendiri. Ini sapu tanganmu”, ucap Nadyah dengan ketus sambil menyodorkan sapu
tangan milik Dewa. Sambil mengambil sapu tangan dan menyimpannya, Dewa tetap
memaksa Nadyah untuk diantarnya pulang, “tidak apa-apa, aku akan mengantarmu
pulang, ucap Dewa sekali lagi.
“Aku bisa
kembali ke rumah sendiri”, jawab Nadyah dengan tegas, bangun dari tempat duduk
dan pergi meninggalkan Dewa. Dewa kemudian menarik tangan Nadyah dan terus saja
memaksa sambil berkata “bagaimana mungkin aku membiarkan seorang wanita yang
sedang bersedih kembali sendirian ke rumah? Aku mungkin lebih kejam dari dia
yang menyakitimu, jika aku membiarkan kamu sendirian pulang”.
Nadyah terdiam
mendengar ucapan Dewa yang begitu tulus untuk membantu.
“Izinkan aku
menemanimu pulang. Aku antar kamu pulang dengan motorku ya, ucap Dewa.
“Jangan ngebut”!
jawab Nadyah pada Dewa.
“Tidak, aku tidak
mungkin mencelakaimu, ayo! balas Dewa sambil tersenyum.
Dewa menggandeng tangan Nadyah
dan pergi menuju motor. Keduanya meluncur dengan motor besar milik Dewa ke
rumah Nadyah. Sesekali Dewa melirik Nadyah dari balik kaca spion motornya.
Wajah Nadyah sangat nyaman dilihat apalagi saat Nadyah berusaha menghindari
tiupan angin yang berusaha merusak bulu mata palsunya itu, Dewa pun langsung
jatuh cinta.
“Dyah, kamu
sudah makan?” tanya Dewa yang mulai perhatian pada Nadyah setelah kejadian itu.
“Aku tidak lapar
kow”, ucap Nadyah.
“Kita makan dulu
ya, Dyah. Aku lapar nih. Ada satu tempat makan yang sering aku singgahi.
Makanannya enak banget, Dyah”, jawab Dewa sambil merayu.
“Aku lagi tidak
ada selera makan nih. Kita langsung pulang saja ya. Lagian kompleks perumahanku
sudah dekat di depan sana”, ucap Nadyah.
“Baiklah”, sahut
Dewa menuruti permintaan Nadyah.
“Di perempatan
lampu merah depan sana belok kanan ya, ucap Nadyah.
“Siap, Dyah. Besok
aku jemput ya? Kita jalan-jalan. Aku tahu tempat yang dapat menyembuhkankan
lukamu” ucap Dewa yang kembali membuka luka hati Nadyah.
“Belok kanan,
Dewa. Jangan lurus saja”, ucap Nadyah dengan kesal.
“Maafkan, Dyah.
Aku pikir kamu istriku, jadi kita lurus saja ke arah rumahku. HAHAHAH”, jawab
Dewa dengan harapan agar Nadyah kembali tersenyum.
“Ngawur kamu,”
sahut Nadyah sambil mencubiti pinggang Dewa.
“Aduh. Sakit
tahu, Dyah”, jawab Dewa sambil ketawa dan menahan rasa sakit.
“Beeeerrrrrrrrrrrrrrhenti,
Dewa. Di sini rumahku”, sahut Nadyah dengan kesal.
“Itukan rumahmu”,
jawab Dewa sambil menunjuk ke rumah di sebelah kiri jalan.
“Jangan sok tau.
Rumahku yang di sebelah kanan jalan, jawab Nadyah menjelaskan pada Dewa.
“Ternyata, kamu
tinggal di perumahan seelit ini juga”, tanya Dewa yang semakin kepo saja.
“Ini rumah orang
tuaku, bukan rumahku. Ya sudah, kamu langsung pulang saja. Oh iya, hati-hati
ya. Terimakasih udah ngantarin aku pulang, ucap Nadyah.
“Nadyah, tunggu
dulu. Bolehkan aku minta nomor handphone kamu? Biar besok, sebelum aku jemput,
aku sudah ngabarin kamu duluan”, ucap Dewa.
“Ini nomor
handphoneku”, jawab Nadyah sambil menyebutkan nomornya dan membuka pintu pagar rumah
yang terkunci.
Selesai Nadyah memberikan nomor
handphone, Dewa secepat kilat langsung menyimpan dalam daftar kontak handphone.
Setelah selesai menyimpan nomornya Dewa terkejut saat Nadyah sudah berada di
dalam pagar rumahnya. Ternyata Nadyah langsung meninggalkan Dewa setelah memberikan
nomornya, sehingga Dewa tidak sempat memperhatikan Nadyah yang pergi saat dia
sibuk menyimpan nomor Nadyah.
***
Keesokan harinya sekitar jam 07.00 pagi, Nadyah
terbangun dari tidurnya saat handphone berdering, segera menekan tombol terima
tanpa mengecek dahulu siapa yang menelpon, Nadyah menyangka yang menelponn
adalah Rino, kekasihnya itu. Sebab Rino’lah yang menelpon dan membangunkan
Nadyah setiap pagi.
“Halo,
selamat pagi Ino”, ucap Nadyah dengan penuh kebahagiaan.
“Ino???
Hey, ini Dewa, Nadyah. Kamu mimpi ya?? tanya Dewa.
“ Oh,
maaf”, jawabku sambil terkejut “ternyata aku salah orang” dalam hati.
Nadyah kembali bersedih,
mengenang kebiasaan dibangunkan Rino dan hari ini sangatlah berbeda. Nadyah
bangun setengah bersandar pada tempat tidur sambil menatap foto Rino yang
diletakkan tepat di samping tempat tidur, air mata terjatuh saat sadar bahwa
kemarin baru saja melihat Rino selingkuh darinya.
“Nadyah,
kamu masih bisa mendengarkan aku kan?”tanya Dewa melalui sambungan telepon.
“Iya,
iya Dewa”, jawab Nadyah.
“Bagaimana
dengan hari ini? Apakah kita jadi jalan?”tanya Dewa lagi.
“Iya,
Dewa. Kita jalan, jawab Nadyah.
“Ya
sudah. Satu jam lagi aku tunggu depan rumahmu, sahut Dewa.
“Oke,
baiklah. Aku bersiap dulu, bye Dewaaa”, ucap Nadyah langsung mematikan
sambungan telepon.
Nadyah bangkit, mengambil foto
Rino di atas meja dan menaruhnya ke laci. Setelah itu Nadyah pun langsung
menuju ke kamar mandi. Selesai mandi, Nadyah mengenakan pakaian pemberian Rino.
Pakaian itu diberikan Rino saat ulang tahun Nadyah tahun kemarin. Nadyah
kembali mengecek handphone untuk sekedar memastikan apa mungkin saja Rino
sempat menghubungi melalui telpon atau mengirim pesan padanya, namun tak ada
satu pun pesan atau panggilan dari Rino. Nadyah pun kesal dan mengganti lagi
pakaian pemberian Rino dengan pakaian lain miliknya. Tak lama handphone
berdering, pesan dari Dewa yang sudah berada di depan rumah. Nadyah segera
turun menemui Dewa.
“Hai,
Dyah. Cantik sekali kamu pagi ini,” ungkap Dewa terpesona saat melihat Nadyah.
“Makasih.
Ayo kita jalan”, jawab Nadyah sambil menaiki motor besar milik Dewa.
Keduanya
langsung menuju tempat yang dijanjikan Dewa semalam. Dewa ternyata benar-benar telah
jatuh cinta pada Nadyah. Dewa berencana akan mengutarakan isi hatinya hari itu
juga di tempat yang mereka tuju.
“Kita
mampir di sana dulu ya, Dyah. Aku ingin membeli sesuatu”, jawab Dewa sambil menunjuk
ke arah toko perhiasaan.
“Terserah
kamu saja. Kan yang bawa motor kamu bukan aku”, jawab Nadyah yang agak sedikit
risih.
“Kamu
itu susah diajak kompromi, jadi minta izin dulu, bolehkan”! tanya Dewa diiringi
ketawa yang bermaksud mencairkan suasana yang agak canggung diantara keduanya.
“Sudahlah,
singgah saja dulu ke sana”, ucap Nadyah dengan nada pasrah.
Mereka
pun berhenti di toko perhiasaan itu.
“Ayo,
Dyah. Temani aku. Aku pengen kamu yang memilih untukku, sahut Dewa.
“Baiklah,
Dewa,” ucap Nadyah dengan sikapnya yang agak sedikit manis.
Nadyah dan Dewa
masuk ke dalam toko perhiasaan itu, namun alangkah terkejut Nadyah saat melihat
Rino dengan wanita yang semalam dilihatnya di cafe, saat ini kembali bersama
dengan Rino sedang mencoba sebuah kalung yang cocok untuk digunakan wanita itu.
Nadyah segera berlari keluar dan Dewa segera mengikuti dari belakang.
“Sebenarnya
kamu kenapa sih, Dyah? Tiba-tiba berlari begitu saja,” tanya Dewa dengan penuh
kebingungan.
“Kita
pergi dari tempat ini, sekarang juga, Dewa”, sahut Nadyah sambil menarik tangan
Dewa dengan kasar dan membiarkan air mata mengalir di pipi tanpa perlu
menyekahnya.
“Tapi,
Dyah. Kita belum membeli apa-apa dari toko perhiasaan itu”, baru juga masuk
sudah keluar saja, ada apa sebenarnya?” tanya Dewa lagi mencari tahu kenapa
Nadyah pergi begitu saja dan menangis.
“Aku
bilang pergi dari tempat ini sekarang juga, ku mohon, Dewa! Pleaasssee! Lagian
masih banyak toko perhiasaan lain, yang jauh lebih bagus dari toko ini dan kenapa
juga harus di tempat ini coba?” ucap Nadyah yang semakin kasar saja ketika marah.
Dewa segera
menghidupkan motor dan pergi meninggalkan toko perhiasaan itu. Dewa membawa
Nadyah ke suatu bukit yang sangat indah dengan pemandangannya. Tidak hanya
indah, namun bukit tersebut memberikan kenyamanan yang dapat menenangkan jiwa.
Keduanya berdiri menikmati pemandangan itu dan Nadyah masih saja menangis.
“Sudahlah,
Dyah. Berhentilah menangis! Aku tak sanggup melihatmu bersedih”, ucap Dewa
sambil menyeka air mata Nadyah dengan tangannya.
“Dia
sudah mengecewakanku, jawab Nadyah sambil menangis.
“Siapa
yang telah melukai hati wanita secantik kamu, Dyah?” tanya Dewa.
“Rino.
Pria yang bersama seorang wanita di toko perhiasaan itu. Dia adalah kekasihku.
Aku sangat mencintai dia. Aku salah, ternyata dia tidak setulus perkiraanku.
Dia pria munafik. Aku membencinya, aku membencinya, Dewa”, ucap Nadyah sambil
menangis dan tanpa sadar memukul Dewa.
“Sudahlah,
Dyah. Tenangkan dirimu!” sahut Dewa sambil menenangkan Nadyah dalam pelukan.
“Aku
membencinya, Dewa. Aku membencinya!” teriak Nadyah sekencang-kencangnya.
“Duduklah
dulu, Dyah dan tenangkan pikiranmu”, ucap Dewa yang mulai khawatir dengan
kondisi emosional Nadyah yang tidak terkontrol.
Nadyah terus saja menangis dalam rangkulan Dewa. Beberapa
saat tangisan Nadyah mulai berhenti dan segera menarik kepalanya dari rangkulan
Dewa.
“Apakah
kamu masih ingin menangisi pria seperti dia?” tanya Dewa yang mulai kesal
dengan sikap Nadyah.
“Tidak”,
jawab Nadyah dengan menyekah air mata.
“Dyah,
lupakan pria itu. Lupakan dia yang hanya bisa membuatmu menangis”, ucap Dewa
yang antara kesal dan berharap Dyah bisa melupakan Rino agar kesempatannya
untuk menjadi kekasih Dyah terbuka lebar tanpa halangan.
“Aku
tidak bisa melupakannya tapi aku bisa membuatnya jauh dari kehidupanku, ucap
Nadyah sambil mengambil handphone dari dalam tas.
“Maksud
kamu? tanya Dewa pada Nadyah.
“Kami
tidak akan bisa bersatu lagi. Aku relakan dia bersama wanita itu. Aku salah.
Aku salah mencintainya”, ucap Dyah sambil mematahkan Simcard lalu membuangnya.
“Apa
yang kamu lakukan? Ada nomorku dikartu itu. Bagaimana aku bisa menghubungimu?”
tanya Dewa yang semakin bingung dengan sikap Nadyah.
“Nomormu
itu, bisa kusimpan dikartu baruku”, jawab Nadyah dengan sedikit kesal.
“Baiklah”,
jawab Dewa dengan ekspresi datar.
“Ayo
kita pulang, ucap Nadyah yang langsung ditanya Dewa “mau ke mana kita?”.
“Ke mana
saja, asalkan kita jalan”, bentak Nadyah yang semakin kesal. Akhirnya, dengan
tergesa-gesa Dewa naik ke motor tanpa sepatah katapun terucap, “takut tuan
putri ngamuk lagi”, pikirnya dalam hati.
Keduanya
meninggalkan bukit tersebut. Dalam perjalanan, keduanya membisu. Beberapa menit
setelahnya, Dewa pun memberanikan diri untuk mulai pembicaraan dengan Nadyah.
“Nadyah,
mau ke mana lagi kita?” tanya Dewa dengan penuh kehati-hatian.
“Kita
pergi ke toko kue saja, Dewa. Aku ingin memesan kue ulang tahunku besok”, jawab
Nadyah.
“Kamu
ulang tahun besok ya, Dyah? Aku diundang tidak? tanya Dewa dengan penuh
semangat dan berharap diundang Nadyah.
Datang
saja, Dewa. Besok jam 04.00 sore acaranya dimulai. Jangan sampai telat”, jawab
Nadyah.
“Dyah, lupakan
pria itu. Aku yang akan menemanimu selalu, untuk apa juga masih mempertahankan
pria seperti itu. Masih banyak yang jauh lebih baik seperti aku misalnya”, ucap
Dewa terbawa suasana.
“Aku
masih sangat mencintainya. Tolong pahami aku, Dewa. Ku mohon, mengertilah,
jawab Nadyah.
“Oke
baiklah, Dyah. Aku minta maaf. Aku sempat terbawa suasana, jawab Dewa dengan
penuh rasa sakit dan berharap bisa menjadi penyembuh luka untuk kekasih hati
yang dicintainya.
Sampailah keduanya di toko kue. Mereka
memesan kue untuk ulang tahun Nadyah. Selesai memesan, Dewa mengantar Nadyah
pulang ke rumah. Keesokan hari Dewa datang untuk turut merayakan hari ulang
tahun Nadyah. Pesta itu dihadiri banyak sekali teman-teman Nadyah. Namun,
Nadyah tampak tidak bahagia, sebab Rino kekasih hatinya tidak kunjung hadir
dalam acara ulang tahun tersebut. Nadyah malah semakin merindukan Rino.
***
Setahun berlalu namun Rino masih
menghilang tanpa kabar. Nadyah pun akhirnya terpaksa berpacaran dengan Dewa,
walaupun Nadyah tidak sepenuhnya menyayangi Dewa karena di dalam hati Nadyah
hanya Rino seorang, pria yang dicintainya.
Hari yang sangat ditunggu-tunggu Rino
pun tiba. Rino ingin sekali menemui Nadyah, gadis yang sangat dicintainya. Pria
berkulit sawo matang dengan rambut ombak dan berjenggot di dagunya itu pun
berangkat ke rumah Nadyah ditemani Tika. Hari itu adalah hari ulang tahun
Nadyah, setelah setahun lalu Rino tak sempat merayakan bersama-sama dengan
pujaan hatinya. Tika sendiri kebingungan melihat rumah itu ditata dengan
pernak-pernik pernikahan.
“Tunggu
dulu, Rino. Ini pesta pernikahan bukan pesta ulang tahun, Nadyah. Lihat saja,
pernak-pernik itu!” ucap Tika sambil menunjuk ke arah anyaman bunga dari daun
kelapa.
“ Tapi hari
ini ulang tahun Nadyah, Tika. Mungkin saja ini pernikahan kakaknya yang sengaja
dibuat bertepatan dengan hari ulang tahunnya. Nadyah adalah gadis kesayangan
rumah ini. Ayo masuk!” jawab Rino sambil menarik tangan Tika. “ Aku ingin
memeluknya dan mengatakan bahwa aku sangat mencintainya”, ucap Rino sekali
lagi.
Keduanya pun
masuk ke rumah itu dengan membawa sebungkus kado dan seikat bunga mawar putih
kesukaan Nadyah. Sesampai di depan pintu rumah, Rino terkejut melihat Nadyah, tampak
sangat cantik. Rambut pirang disanggul dengan kebaya biru yang membalut tubuh
indahnya. Gadis itu tampak seperti putri kerajaan. Rino tersenyum melihat
kecantikan wanita kesayangannya yang sekarang berada tepat dihadapannya. Sayang,
kebahagiaan itu sirna, Rino tiba-tiba menjatuhkan air mata tak percaya Nadyah berdiri
dipelaminan bersama pria yang bukan dirinya. Bunga yang tadinya dipegang erat terlepas
dari genggaman dan terjatuh. Tika baru menyadari bahwa Nadyah adalah mempelai
wanitanya.
“Kita
pulang, Tika. Nadyah sudah sangat bahagia tanpaku, ucap Rino sambil berbalik
menuju pintu keluar.
“Tapi,
Rino”, jawab Tika dengan nada sedih.
“Aku
tidak ingin merusak kebahagiaanya, jawab Rino sambil terus berjalan menuruni
setiap anak tangga.
Tika pun
ikut menjatuhkan air mata melihat pria yang sangat dicintainya itu berjalan
sambil melamun menuju pintu gerbang.
“
Rinoooooooooooo”, teriak Tika. Riiiinnnnoooo, teriak Tika sekali lagi, sambil
berlari mengejar Rino.
Mendengar teriakan
yang memanggil nama Rino, seketika itu Nadyah terkejut dan melihat ke arah
pintu sambil berkata,”bukannya dia yang selalu bersama dengan Rino, sedang apa
dia berlari sambil berteriak memanggil nama Rino”. Nadyah pun turun dari
pelaminan dan berlari keluar mengejar wanita itu. Nadyah terkejut melihat
wanita itu memeluk Rino yang telah berlumuran darah. Rino menjadi korban tabrak
lari di depan rumah Nadyah.
“Rinooooo,
Rinooooo”, teriak Tika sambil menangis.
“Rinoooooo,
teriak Nadyah sambil berlari.
“Rinooo ku
mohon buka matamu. Kamu tak boleh meninggalkanku. Dengan siapa lagi aku hidup
di dunia ini?” teriak Nadyah sekencang-kencang sambil memeluk Rino dalam tangis.
Keluarga Nadyah,
para tamu undangan dan warga sekitar berhamburan di jalan untuk datang melihat
apa yang terjadi.
“Dyah,
apa yang terjadi?” tanya Ayah.
“Rino,
Ayah”, jawab Nadyah sambil menangis dipelukan Ayah.
“Segera
kita bawa Rino ke rumah sakit. Ayo bapak-bapak, tolong bantu saya mengangkat
anak ini ke dalam mobil” ucap Ayah Nadyah.
Para tamu undangan
dan warga sekitar membantu ayah Nadyah mengangkat dan memindahkan Rino ke dalam
mobil. Ayah Nadyah, Ibu Nadyah, Nadyah, dan Tika mengantarkan Rino ke rumah
sakit. Sesampainya di RSU, Rino segera dibawa ke UGD dengan cepat oleh tim
medis. Kedua orang tua Nadyah, Nadyah dan Tika menunggu di luar ruangan UGD.
“Kamu
siapa?” tanya Nadyah sambil menangis.
“Aku
Tika, adik kandung Rino, jawab Tika sambil menangis juga.
“Jadi
selama ini, wanita yang pergi bersama Rino adalah kamu, adik kandung Rino”,
tanya Nadyah.
“Iya,
itu aku. Memangnya kenapa? Rino tidak pernah cerita?” Tika balik bertanya ke
Nadyah.
“Oh,
Tuhan. Maafkan aku, Rino. Maafkan aku, ucap Nadyah sambil memukul tangannya ke tembok. “Tapi mengapa begitu lama
Rino meninggalkanku? Salahku apa, Tika? Salahku apa?” tanya Nadyah lagi.
“Rino
tidak pernah meninggalkanmu, setahun yang lalu Rino mengalami kecelakaan di
depan toko perhiasaan, setelah sadar dari komanya selama beberapa bulan, Rino
tetap memaksakan diri untuk menemuimu tapi aku melarangnya. Aku hanya ingin
Rino benar-benar pulih dari sakit, tidak ada maksud lain. Waktu itu, aku dan
dia pergi membeli kalung untuk hadiah ulang tahunmu. Dia berlari keluar saat
melihatmu diboncengi seseorang. Dia mencoba mengikuti kalian, namun sayang baru
saja sampai di luar toko perhiasaan itu, Rino tertabrak motor yang melaju
dengan sangat kencang. Dia dilarikan ke rumah sakit. Dia sembuh dan keluar dari
rumah sakit sekitar sebulan yang lalu. Dia mengajakku ke rumahmu dengan kondisi
fisiknya yang masih belum stabil. Aku memintanya untuk menghubungimu terlebih dahulu,
berulang kali dia mencoba untuk terus menghubungi tapi tetap saja nomormu tidak
bisa dihubungi. Akhirnya, aku pun terpaksa membiarkannya pergi, tepat di hari
ulang tahunmu saat ini”, jelas Tika pada
Nadyah.
“Maafkan
aku, Tika. Aku sempat menyangka kamu adalah selingkuhannya, aku melihat Rino
memberikan cincin padamu di cafe tempat biasa Rino singgahi untuk minum kopi
bersama teman-temannya. Saat itu malam minggu, membuatku semakin berpikiran
bahwa kalian adalah sepasang kekasih”, ucap Nadyah sambil memeluk Tika.
“Cincin
itu sebenarnya untukmu. Dia sengaja mengundangku untuk melihat cincin itu
sebelum diberikan kepadamu. Aku pernah bilang padanya, jika wanita yang kamu
cintai itu sama seperti kamu mencintai Ibu maka berikanlah yang terbaik. Cincin
dan kalung adalah hadiah yang tepat untuknya. Keesokan harinya kami pergi ke
toko perhiasaan itu untuk membelikan kalung untukmu”, jelas Tika sekali lagi.
“Kuatlah
sayang, aku mencintaimu. Maafkan aku!” ucap Nadyah sambil menangis.
“Aku
melihatnya tersenyum bahkan menangis saat melihatmu bahagia bersama orang lain
dipelaminan tadi,” ucap Tika menjelaskan yang terjadi pada Nadyah.
“Bukan
aku yang menikah. Kakakku yang menikah. Aku berdiri dipelaminan hanya untuk berfoto
bersama. Maafkan aku, Rino. Aku tidak berusaha untuk mencarimu selama ini,
jawab Nadyah atas pertanyaan Tika.
Dokter yang
menangani Rino pun keluar dari ruangan UGD. Mereka segera menghampiri dokter.
“Bagaimana
keadaannya, dok?” tanya Ayah Nadyah.
“Dok,
bagaimana keadaan anak kami sekarang?” tanya Ibu Nadyah lagi.
“Maafkan
kami. Kami sudah berusaha tapi nyawa anak bapak dan ibu, tidak bisa tertolong”,
jawab dokter sambil menggelengkan kepala.
“Oh,
Tuhan”, sahut Ayah Nadyah.
“Ayah,
Nadyah, Tika. Kita harus ikhlaskan kepergian Rino, ucap Ibu Nadyah sambil
menguatkan semuanya.
“Kakaak......
Kaakaaak .............”, teriak Tika di depan ruangan UGD dan menangis.
“Rinooooooo,
aku baru saja memandangmu beberapa detik yang lalu dalam luka tapi kenapa
sakitnya terus saja bertambah. Katakanlah jika aku salah, aku mohon. Jangan hukum aku dalam penyesalan yang tiada
akhir. Ku mohon bangunlah, bangunlah sayang. Hari ini ulang tahunku. Kamu belum
sempat mengucapkannya” Selamat Ulang Tahun Dyah’ku Sayang”, I LOVE YOU,
Dyah’ku”,ucap Nadyah dalam lamunan sambil terus memandang ke arah ruangan UGD
dan menangis.
“Permisi,
Bapak-Ibu”, ucap Dokter.
Nadyah dan Tika
sama-sama berlari ke dalam ruangan UGD. Keduanya menangis sambil memeluk
jenasah Rino. Tak lama, orang tua Nadyah pun ikut masuk dan menemui keduanya.
Dyah,
tenangkan dirimu”, ucap Ibu sambil memeluk anak gadis satu-satunya itu yang
begitu terpukul atas meninggal kekasih hatinya.
“Rino,
Ibu. Rino pergi. Rino meninggalkan Dyah, di hari ulang tahun Dyah”, ucap Nadyah
yang terus menangis di depan jasad Rino.
“Kakak
Dyah, ini untukmu”, sahut Tika sambil menyodorkan surat undangan, cincin,
kalung dan sapu tangan sambil menangis.
Nadyah menerima
kado pemberian Tika. Nadyah kemudian duduk di kursi, di samping tempat tidur.
Nadyah kembali menangis setelah membaca isi undangan tersebut. Ternyata undangan
tersebut adalah contoh desain undangan pertunangan yang bertuliskan nama Rino
dan Nadyah.
Nadyah lalu
membuka sapu tangan itu, tergambar dua ekor burung dengan tulisan ”Burung itu tak lagi sendiri. Aku akan
mencintai kamu selama mentari muncul dari timur, berdiam di atas kepala dan
ketika itu menghilang ke ufuk barat”.
Nadyah menangis
sekencang-kencangnya dan terus mencium sapu tangan itu, sesekali meletakkan
sapu tangan itu didadanya. Nadyah menyesali kesalahannya yang telah meragukan
cinta Rino. Kesalahan karena berusaha membuat Rino tak bisa menghubunginya.
Kesalahan yang membuat Nadyah harus kehilangan Rino selamanya. Sekarang, Nadyah
hanya bisa berdoa semoga bisa berjumpa lagi dalam kebahagiaan yang sama, selalu
dan selamanya, Amin!
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar