"Perceraian Merupakan Social Pathology"
Oleh: Darman Eldin
Berangkat dari hadist
yang diriwayatkan Abu
Daud dan Ibnu Majah, bahwa: ”sesuatu yang
halal (dibolehkan) yang paling tidak disukai Allah ialah perceraian.
Artinya bahwa perceraian itu diperbolehkan dalam agama Islam namun sebagai
upaya terakhir bersifat darurat yang mendesak. Dan kemudian upaya arbitrase
ditempuh sebagai upaya mempertahankan ikatan pernikahan dan melindungi
anak-anak. (Stephen R. Covey, 2000). Karena
dampak perceraian sangat tidak sehat terhadap perkembangan psikologi dan
kejiwaan anak serta otomatis kelangsungan perilaku dan
tingkah laku mereka yang berdampak pada ketidak percayaan diri dan bahkan
minder dengan anak-anak sebaya mereka. Anak dari korban perceraian akan merasa
tidak diperhatikan dengan kehidupan yang akan mereka jalani. Merasa terkucilkan dari lingkungan mereka
bermain dan bersosialisasi dengan orang-orang di sekitar mereka tinggal.
Ketidak percayaan diri akan selalu tertanam dalam sanubari mereka yang
menjangkiti perasaan mereka yang kemudian berakhir dengan kesendirian yang
menyayat hati.
Orang tua antara ayah dan ibu yang menjadi tumpuan dan dambaan
anak-anak, idealnya harus berkorban jiwa dan raga demi kelangsungan hidup
generasi mereka yang kelak menjadi pemimpin ummat. Percekcokan dan pertengkaran
itu seharusnya dijadikan sebagai alat barometer dalam rumah tangga untuk
memonitoring sejauh mana kasih sayang antara suami dan istri itu terealisasi dalam
membangun sebuah mahligai rumah tangga. Terasa damai dan tentram berumah tangga
apabila kekurangan dan kelebihan pasangan dijadikan sebagai keunikan tersendiri
yang ada pada diri pasangan masing-masing. Apa tak lagi dalam sebuah keluarga diberikan oleh
Allah karuni dan rezeki yang mulia dengan hadirnya anak menjadi titipan dan
amanah yang harus dijaga dan dipelihara dengan sebai-baik mungkin. Anak
atau keturunan adalah
karunia dari Allah SWT yang dianugerahkan kepada suatu keluarga dan sekaligus
sebagai amanat Allah yang harus dipelihara dan dijaga keselamatannya.(Mohammad
Surya, 2001)
Oleh
karena itu, selaku orang tua berkewajiban dalam rangka pemeliharaan dan
pembimbingan terhadap anak-anaknya yang diamanahkan
kepadanya agar kelak nantinya menjadi manusia yang seutuhnya insan kamil yang
berakhlak mulia menjadi dambaan keluarga dan agama. Alangkah indahnya hakikat anak menurut agama Islam
dan jelas mempunyai makna yang amat mendalam, luas, holistik dan komprehensif
dalam berbagai dimensi kehidupan.
Dialah yang akan menjadi tumpuan dan harapan orang tua yang akan menjaga
keharmonisan dalam sebuah keluarga. Anak pula yang
kemudian akan mengangkat harkat dan martabat serta nama baik keluarga kelak di
masa yang akan datang. Mengharumkan
nama baik keluarga jikalau mereka berhasil menggapai kesuksesan yang mereka
idamkan selama menjalani kehidupan. Semua itu membutuhkan pengorbanan jiwa dan
raga bagi anak-anak untuk menggapai sebuah keberhasilan yang dicita-citakan.
Kesemuanya itu dapat teralisasi jikalau ada sport serta dukungan real yang
sifatnya kontinyu terur-menerus dilakukan dari kedua orang tua kepada mereka
untuk memberikan kekuatan untuk menggapai
mimpi yang mereka impikan.
Inilah
gambaran ideal yang semestinya dijadikan sebagai pedoman acuan bagi para orang
tua di tengah-tengah masyarakat khususnya di wilayah Kabupaten Sikka.
Untuk menjaga keturunan mereka dari segala macam ancaman yang merusak mental
kejiwaan dan perilaku anak-anak agar kelak keluarga yang didambakan sebagi
keluarga sakinah (ketenangan), mawaddah (cinta), dan rahmah
(kasih sayang) itu dapat dicapai. Semua keluarga
sejatinya mengimpikan keluarga yang tenang dari segala macam gangguan yang
tidak diinginkan, semisal contoh pertengkaran dan lain sebagainya yang dapat
menggangu keharmonisan keluarga.
Cinta dan kasih sayang merupakan kodrat setiap insan
yang paling mendasar dalam membina sebuah keluarga karena dengan cinta dan
kasih sayang yang tumbuh antara bapak, ibu dan anak akan melahirkan keluarga
yang rukun, damai dan santosa yang menjadi tuntunan seluru insan manusia.
Karena dengan besarnya cinta kasih yang terpupuk indah dalam sanubari maka
seorang suami akan merasakan nyaman tinggal bersama istri, demikian pula
sebaliknya istripun merasa bahagia hidup bersama suami dan anak pun demikian
sudah dipastikan merasakan tenteram kehidupannya di tengah-tengah keluarga. Justru yang
terjadi sebaliknya, anak yang menjadi korban dari keretakan sebuah keluarga yang berakhir dengan perceraian mengalami depresi yang tidak lazim lagi dengan sebutan broken
home. Anak broken home adalah anak yang hasil kegagalan rumah tangga
atau seorang anak yang memiliki keluarga tidak harmonis Karena anak tidak
memperoleh kasih sayang, asuhan, bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan
sikap, perilaku, penyusaian diri serta pengawasan dari orang tua yang
memudahkan terseretnya anak dalam pergaulan masyarakat yang bebas tanpa kontrol
dan lingkungan yang kurang sehat. Yang berakibat tidak terjaminnya kelangsungan
hidup generasi yang sejahtera dari segi mental dan fisik anak. Kemudian berdampak pada tingkah laku dengan
berprilaku yang kurang baik dengan istilah anak nakal dan lain sebagainya.
Anak-anak
yang seharusnya mendapatkan pendidikan keluarga untuk melatih kepekaan terhadap
lingkungannya malah harus menelan “pil pahit” dengan terjadinya perceraian
kedua orang tuanya yang tentunya kasih sayang itupun pupus untuknya. Kemudian
ke mana dia harus menggantungkan harapan untuk kelangsungan hidupnya dalam
menatap hari-hari esoknya dengan sentuhan kasih dan
belaian sayang dari kedua orang tuanya. Harapan itu terasa hampa
bagai anak-anak yang mengalami problematika kehidupan dimana kedua orang tuanya
berpisah dengan jalan bercerai. Yang kemudian diperparah lagi dengan anak
remaja putus sekolah karena terlantar tanpa ada kontrol dari keluarga yang
telah berpisah hanya karena persoalan sepeleh. Keegoisan kedua orang tua yang
berimbas pada tergadaikannya masa depan anak-anak disebabkan perbuatan ayah dan
ibu mereka yang mengedepankan ego masing-masing yang merusak tatanan perilaku
dan masa depan anak.
Putus sekolah adalah
merupakan potret suram yang lumra biasa terjadi pada anak-anak yang
sejatinya masih membutuhkan pendampingan kedua orang tuanya. Yang selanjutnya
munculnya kenakalan anak remaja yang tidak terkontrol berakibat kesenjangan
strata sosial yang selama ini terjadi. Masa dimana anak-anak masih membutuhkan
sentuhan tangan dari kedua orang tuanya dalam menggapai cita dan cinta, kini
harus ternodai dengan perilaku orang tua yang lebih mementingkan diri mereka
masing-masing ketimbang peduli dan peka dengan anak mereka. Inilah realitas
yang terjadi di kehidupan masyarakat Kabupaten Sikka, dimana anak-anak putus
sekolah sangat tinggi dan kenakalan anak-anak tidak terkontrol yang berdampak
pada perilaku yang tidak baik bagi dirinya sendiri bahkan lingkungan. Anak
remaja usia muda yang harus produktif belajar dan berkarya untuk perbaikan jati
diri mereka, justru hidup tanpa arah tujuan yang jelas.
Sejatinya keluarga dan pemerintah Kabupaten Sikka
harus memiliki andil dan tanggung jawab yang besar dalam melakukan
penaggulangan bahaya laten yang terjadi secara siknifikan dan untuk meminimalisir
pada generasi pelanjut peradaban Sikka yang berkemajuan. Undang Undang Dasar
1945 jelas mengamanahkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bagi seluruh
lapisan masyarakat tak terkecuali anak-anak yang kelak menjadi penerus
peradaban Sikka yang berkemajuan di kemudian hari. (Darman Eldin, Dosen Program Studi PKn IKIP Muhamadiyah Maumere)
alhamdulillah...mencerahkan...
BalasHapus