News PBSI IKIPMu Maumere

Senin, 17 Juli 2017

OPINI: PERCERAIAN MERUPAKAN SOCIAL PATHOLOGY

"Perceraian Merupakan Social Pathology"
Oleh: Darman Eldin

 Berangkat dari hadist yang diriwayatkan Abu Daud dan Ibnu Majah, bahwa: ”sesuatu yang halal (dibolehkan) yang paling tidak disukai Allah ialah perceraian. Artinya bahwa perceraian itu diperbolehkan dalam agama Islam namun sebagai upaya terakhir bersifat darurat yang mendesak. Dan kemudian upaya arbitrase ditempuh sebagai upaya mempertahankan ikatan pernikahan dan melindungi anak-anak. (Stephen R. Covey, 2000). Karena dampak perceraian sangat tidak sehat terhadap perkembangan psikologi dan kejiwaan anak serta otomatis kelangsungan perilaku dan tingkah laku mereka yang berdampak pada ketidak percayaan diri dan bahkan minder dengan anak-anak sebaya mereka. Anak dari korban perceraian akan merasa tidak diperhatikan dengan kehidupan yang akan mereka jalani. Merasa terkucilkan dari lingkungan mereka bermain dan bersosialisasi dengan orang-orang di sekitar mereka tinggal. Ketidak percayaan diri akan selalu tertanam dalam sanubari mereka yang menjangkiti perasaan mereka yang kemudian berakhir dengan kesendirian yang menyayat hati.
     Orang tua antara ayah dan ibu yang menjadi tumpuan dan dambaan anak-anak, idealnya harus berkorban jiwa dan raga demi kelangsungan hidup generasi mereka yang kelak menjadi pemimpin ummat. Percekcokan dan pertengkaran itu seharusnya dijadikan sebagai alat barometer dalam rumah tangga untuk memonitoring sejauh mana kasih sayang antara suami dan istri itu terealisasi dalam membangun sebuah mahligai rumah tangga. Terasa damai dan tentram berumah tangga apabila kekurangan dan kelebihan pasangan dijadikan sebagai keunikan tersendiri yang ada pada diri pasangan masing-masing. Apa tak lagi dalam sebuah keluarga diberikan oleh Allah karuni dan rezeki yang mulia dengan hadirnya anak menjadi titipan dan amanah yang harus dijaga dan dipelihara dengan sebai-baik mungkin. Anak atau keturunan adalah karunia dari Allah SWT yang dianugerahkan kepada suatu keluarga dan sekaligus sebagai amanat Allah yang harus dipelihara dan dijaga keselamatannya.(Mohammad Surya, 2001)
     Oleh karena itu, selaku orang tua berkewajiban dalam rangka pemeliharaan dan pembimbingan terhadap anak-anaknya yang diamanahkan kepadanya agar kelak nantinya menjadi manusia yang seutuhnya insan kamil yang berakhlak mulia menjadi dambaan keluarga dan agama. Alangkah indahnya hakikat anak menurut agama Islam dan jelas mempunyai makna yang amat mendalam, luas, holistik dan komprehensif dalam berbagai dimensi kehidupan. Dialah yang akan menjadi tumpuan dan harapan orang tua yang akan menjaga keharmonisan dalam sebuah keluarga. Anak pula yang kemudian akan mengangkat harkat dan martabat serta nama baik keluarga kelak di masa yang akan datang. Mengharumkan nama baik keluarga jikalau mereka berhasil menggapai kesuksesan yang mereka idamkan selama menjalani kehidupan. Semua itu membutuhkan pengorbanan jiwa dan raga bagi anak-anak untuk menggapai sebuah keberhasilan yang dicita-citakan. Kesemuanya itu dapat teralisasi jikalau ada sport serta dukungan real yang sifatnya kontinyu terur-menerus dilakukan dari kedua orang tua kepada mereka untuk memberikan kekuatan untuk menggapai  mimpi yang mereka impikan.
     Inilah gambaran ideal yang semestinya dijadikan sebagai pedoman acuan bagi para orang tua di tengah-tengah masyarakat khususnya di wilayah Kabupaten Sikka. Untuk menjaga keturunan mereka dari segala macam ancaman yang merusak mental kejiwaan dan perilaku anak-anak agar kelak keluarga yang didambakan sebagi keluarga sakinah (ketenangan), mawaddah (cinta), dan rahmah (kasih sayang) itu dapat dicapai. Semua keluarga sejatinya mengimpikan keluarga yang tenang dari segala macam gangguan yang tidak diinginkan, semisal contoh pertengkaran dan lain sebagainya yang dapat menggangu keharmonisan keluarga.
     Cinta dan kasih sayang merupakan kodrat setiap insan yang paling mendasar dalam membina sebuah keluarga karena dengan cinta dan kasih sayang yang tumbuh antara bapak, ibu dan anak akan melahirkan keluarga yang rukun, damai dan santosa yang menjadi tuntunan seluru insan manusia. Karena dengan besarnya cinta kasih yang terpupuk indah dalam sanubari maka seorang suami akan merasakan nyaman tinggal bersama istri, demikian pula sebaliknya istripun merasa bahagia hidup bersama suami dan anak pun demikian sudah dipastikan merasakan tenteram kehidupannya di tengah-tengah keluarga. Justru yang terjadi sebaliknya, anak yang menjadi korban dari keretakan sebuah keluarga yang berakhir dengan perceraian mengalami depresi yang tidak lazim lagi dengan sebutan broken home. Anak broken home adalah anak yang hasil  kegagalan rumah tangga atau seorang anak yang memiliki keluarga tidak harmonis Karena anak tidak memperoleh kasih sayang, asuhan, bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan sikap, perilaku, penyusaian diri serta pengawasan dari orang tua yang memudahkan terseretnya anak dalam pergaulan masyarakat yang bebas tanpa kontrol dan lingkungan yang kurang sehat. Yang berakibat tidak terjaminnya kelangsungan hidup generasi yang sejahtera dari segi mental dan fisik anak. Kemudian berdampak pada tingkah laku dengan berprilaku yang kurang baik dengan istilah anak nakal dan lain sebagainya.
Anak-anak yang seharusnya mendapatkan pendidikan keluarga untuk melatih kepekaan terhadap lingkungannya malah harus menelan “pil pahit” dengan terjadinya perceraian kedua orang tuanya yang tentunya kasih sayang itupun pupus untuknya. Kemudian ke mana dia harus menggantungkan harapan untuk kelangsungan hidupnya dalam menatap hari-hari esoknya dengan sentuhan kasih dan belaian sayang dari kedua orang tuanya. Harapan itu terasa hampa bagai anak-anak yang mengalami problematika kehidupan dimana kedua orang tuanya berpisah dengan jalan bercerai. Yang kemudian diperparah lagi dengan anak remaja putus sekolah karena terlantar tanpa ada kontrol dari keluarga yang telah berpisah hanya karena persoalan sepeleh. Keegoisan kedua orang tua yang berimbas pada tergadaikannya masa depan anak-anak disebabkan perbuatan ayah dan ibu mereka yang mengedepankan ego masing-masing yang merusak tatanan perilaku dan masa depan anak.
     Putus sekolah adalah  merupakan potret suram yang lumra biasa terjadi pada anak-anak yang sejatinya masih membutuhkan pendampingan kedua orang tuanya. Yang selanjutnya munculnya kenakalan anak remaja yang tidak terkontrol berakibat kesenjangan strata sosial yang selama ini terjadi. Masa dimana anak-anak masih membutuhkan sentuhan tangan dari kedua orang tuanya dalam menggapai cita dan cinta, kini harus ternodai dengan perilaku orang tua yang lebih mementingkan diri mereka masing-masing ketimbang peduli dan peka dengan anak mereka. Inilah realitas yang terjadi di kehidupan masyarakat Kabupaten Sikka, dimana anak-anak putus sekolah sangat tinggi dan kenakalan anak-anak tidak terkontrol yang berdampak pada perilaku yang tidak baik bagi dirinya sendiri bahkan lingkungan. Anak remaja usia muda yang harus produktif belajar dan berkarya untuk perbaikan jati diri mereka, justru hidup tanpa arah tujuan yang jelas.
     Sejatinya keluarga dan pemerintah Kabupaten Sikka harus memiliki andil dan tanggung jawab yang besar dalam melakukan penaggulangan bahaya laten yang terjadi secara siknifikan dan untuk meminimalisir pada generasi pelanjut peradaban Sikka yang berkemajuan. Undang Undang Dasar 1945 jelas mengamanahkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bagi seluruh lapisan masyarakat tak terkecuali anak-anak yang kelak menjadi penerus peradaban Sikka yang berkemajuan di kemudian hari. (Darman Eldin, Dosen Program Studi PKn IKIP Muhamadiyah Maumere)

1 komentar: